Oleh : Irfan Juhari
Kepala SDIT Khairul Ikhwan, Paseh Kab. Bandung
irfanjuhari2014@gmail.com
ADA pepatah Arab yang kurang lebih artinya “anak singa ini lahir dari singa betina itu”. Dalam pepatah lain, “buah tidak jauh dari pohonnya”. Jika kita mau sedikit merenungi pepatah semacam itu, tentu kita akan mendapati bahwa orangtua adalah sekolah pertama bagi anak.
Bagaimana tidak, setiap anak akan mulai imitating (meniru) ucapan, kebiasaan hingga cara berpikir dari orang yang pertama kali mereka kenal. Siapa lagi jika bukan orangtua?
Islam memerintahkan umat Islam agar menjaga diri dan keluarga dari api neraka sesuai dengan Firman Allah dalam surat At Tahrim ayat 6 ;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا … ٦
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim ;6)
Salah satu cara agar terhindar dari api neraka selain harus memiliki keimanan yang kuat adalah taat terhadap segala perintah dan menjauhi setiap larangan Allah. Dengan demikian setiap muslim harus memiliki metode pendidikan yang tepat agar buah hati tercinta bisa sesuai dengan apa yang syari’at tuntut, yakni menjadi pribadi yang tuntuk patuh terhadap aturan Allah.
BACA JUGA: Membentuk Keteladanan Orangtua dalam Pendidikan Anak
Maka tidak mengherankan dewasa ini banyak orangtua yang mengincar sekolah-sekolah yang bernafaskan Islam semata-mata agar bisa memiliki anak yang sholeh dan sholehah. Namun, apakah dengan memasukan anak ke sekolah bernuansa Islami sudah cukup? Tentu tidak.
Sekolah bukanlah pabrik celup kain yang hanya tinggal memasukkan kain ke dalam suatu larutan kemudian bisa menghasilkan warna sesuai dengan apa yang kita mau. Sekolah juga bukanlah tempat penitipan anak yang bisa kita gunakan jasanya saat dibutuhkan saja. Lebih dari itu, sekolah mesti dijadikan sebagai partner kita sebagai orangtua dalam mendidik sang buah hati agar sesuai dengan apa yang Allah ridhoi.
Alangkah tidak adil jika kita selaku orangtua sebatas menuntut anak-anak untuk menjadi sholeh maupun sholehah tanpa ada perjuangan dari kita sendiri untuk menjadi orangtua yang sholeh juga agar minimalnya bisa mengimbangi anak-anak. Bukankah akan menjadi indah jika kelak selepas kehidupan fana di dunia ini berakhir, kita bisa berkumpul kembali dengan anak-anak yang kita cintai di syurga-Nya?
Maka dari itu, perlu adanya usaha lebih dari kita sebagai orangtua agar mampu menjadi dambaan buah hati tercinta. Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan membuat visi misi yang sama dengan pasangan kita, syukur-syukur visi misi ini sudah tercipta saat masih belum menikah. Tentunya sebagai muslim yang mengharapkan syurga-Nya, visi misi yang dibuat pun harus sejalan dengan keridhoan Allah.
Mendidik anak bukanlah kewajiban ayah atau bunda saja, melainkan kewajiban bersama. Maka visi misi yang jelas dan sama tentu akan memudahkan kita selaku orangtua dalam memberikan pendidikan yang terbaik. Setelah visi misi terbentuk, konsistensi dalam menjalankan visi misi harus berjalan dengan baik dan benar pula.
Semisal kita ingin memiliki anak penghafal Al-Qur’an maka kita selaku orangtua harus meluangkan waktu untuk membantu hafalan buah hati, bahkan jika diperlukan, kita “bersaing” hafalan dengan anak kita. Contoh lain misalnya ingin anak rajin shalat ke masjid, tentu tidak tepat jika kita malah lebih asik dengan gadget atau TV saat adzan magrib berkumandang. Ingin punya anak dengan kepribadian Islami, tentu akan lebih mudah jika anak melihat contoh dari orangtuanya secara langsung.
Setelah visi misi dijalankan sesuai kadar kemampuan kita, maka selanjutnya kita harus memilihkan lingkungan yang tepat bagi anak kita. Bagaimanapun juga, lingkungan memiliki andil yang cukup besar dalam mempengaruhi perilaku buah hati kita.
Menurut Freud (Santrock, 2012) kepribadian dasar seseorang dibentuk dalam kurun waktu lima tahun dari kehidupan. Artinya kita harus mencarikan anak kita sebuah lingkungan yang bisa menjamin visi misi yang telah dibuat bisa tetap berjalan sebagaimana mestinya sejak dini. Selain itu kita juga bisa menggaet “partner” dalam mendidik anak kita, yakni sekolah. Tentu partner yang kita pilih mestilah mampu memberikan penguatan kepada nilai-nilai ke-Islaman.
Selanjutnya kita juga harus mampu menjalin komunikasi dua arah yang baik dengan buah hati kita. Ucapan “tolong” saat menyuruh, “terima kasih” saat sudah dibantu, “maaf” ketika kita membuat anak kecewa atau menangis dan kata-kata lainnya yang sejenis harus kita kuasai dengan baik. Saat bicara dengan anak, tidak ada salahnya kita jongkok atau sama-sama duduk agar anak merasa dihargai dan diberi kesempatan untuk bicara.
Tataplah wajah anak kita sambil mendengarkan dengan baik saat ia bercerita atau menyampaikan sesuatu. Tanggapan kita yang menunjukkan kepedulian akan menambah ikatan kita dengan anak. Jika anak kita salah, tidaklah rugi bila kita peluk dia sambil mengatakan “tidak apa-apa,”. Jika anak kita berhasil melakukan sesuatu, maka pastikan kita menjadi orang pertama yang bangga dan memuji anak akan keberhasilan tersebut.
BACA JUGA: Pendidikan Sex pada Anak dalam Tinjauan Syariat
Tidak berhenti di sana, kita juga sebagai orangtua mempunyai kewajiban memberikan makanan maupun kebutuhan lainnya yang halalan thoyyiban. Bukan cuma halal tapi juga harus baik. Cara memperoleh dan menggunakan harta tentu harus sesuai dengan ketentuan yang sudah Allah tetapkan. Karena prinsip sederhananya, segala sesuatu yang bermula baik maka akan baik pula selanjutnya.
Tidak kalah penting dari itu semua adalah do’a yang selalu dipanjatkan kepada Allah setiap hari agar buah hati kita menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Usaha tanpa disertai do’a hanya akan menyebabkan kita sombong. Agar terhindar dari sifat tercela itu, maka sertailah setiap ikhtiyar kita dengan do’a yang tulus dari hati.
Tidak boleh ada kata “cukup” untuk belajar cara mendidik anak. Jika anak adalah investasi kita di akhirat, lalu apa alasannya bagi kita untuk tidak maksimal dalam memberikan pendidikan terbaik untuk anak dan tidak maksimal untuk menjadi orangtua yang sholeh? []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.