DIA adalah putri yang rela tangannya melepuh karena menumbuk gandum. Ia yang kamar pengantinnya adalah selembar permadani pasir kali dan berbantal sabut kurma. Untuknya, Rasulullah membuat jendela yang mengarah ke rumahnya, agar setiap saat dapat melihat cahaya matanya. Dialah Fatimah az-Zahra
Suatu hari, datanglah seorang Badui tua kepada Rasulullah Laki-laki itu bertubuh kurus, dan penuh debu. Kumis dan jenggotnya lebat, serta rambutnya panjang tidak teratur. Bau keringat menyengat dari pakaiannya yang kumal. Ia datang kepada Rasulullah, lantas berkata, “Wahai Rasulullah, sudah berhari-hari aku tidak makan. Tubuhku kepanasan dan kedinginan karena hanya pakaian compang- camping ini yang aku miliki. Apakah engkau dapat memberiku segenggam gandum dan selembar kain untuk menutup tubuhku?”
BACA JUGA: Kelahiran Fatimah dari Rahim Khadijah yang Mulia
Rasulullah sangat kasihan kepada orang itu. Tetapi beliau tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepadanya.
“Mohon maaf ke, aku tidak memiliki sesuatu pun, pergilah engkau kepada putriku, Kek. Semoga ia dapat memberimu sesuatu.” kata Rasulullah.
Laki-laki tua itu segera menuju kediaman Fatimah binti Muhammad dengan diantar oleh Bilal bin Rabah.
“Assalamu ‘alaikum,” ucap orang tua itu saat sampai di rumah Fatimah.
“Wa ‘alaikumussalam,” jawab Fatimah dengan ramah.
“Wahai putri Rasulullah, aku diutus oleh ayahmu untuk datang kemari meminta sedekah. Berhari-hari aku kelaparan. Aku tidak punya baju yang layak untuk kupakai shalat. Bisakah kau memberiku sesuatu?”
Fatimah yang berhati lembut, merasa kasihan kepada lelaki tua itu. Tapi ia tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Tidak ada barang berharga di rumahnya. “Tunggulah sebentar, Kek. Saya carikan sesuatu untuk Kakek,” kata Fatimah.
Ia mengamati sekeliling rumah. Matanya tertuju pada selembar alas tidur yang biasa dipakai oleh kedua anaknya, Hasan dan Husein.
Fatimah segera mengambilnya dan membawanya keluar. Kebaikan hati Fatimah membuatnya tak terpikir lagi beralas apakah anaknya saat tidur nanti. Karena Fatimah hanya ingin tamunya terbebas dari lapar. Ia pasrah dan tawakal sepenuhnya kepada Allah. Ia yakin hanya Allah yang menjamin segalanya.
“Ambillah alas tidur ini, Kek. Barangkali ini berguna untuk kakek.”
BACA JUGA: Meneladani Kisah Cinta Fatimah dan Ali
Kakek tua itu terheran-heran.
“Wahai putri Rasulullah, aku butuh makanan dan pakaian. Apa yang dapat aku lakukan dengan selembar kulit kambing ini?”
Fatimah merasa malu. Kakek tua itu benar. Ia tidak butuh alas tidur karena yang dibutuhkannya adalah makanan dan pakaian.
Baiklah, Ke aku carikan benda yang lain. Tunggulah sebentar!”
Fatimah masuk kembali ke dalam rumah. Ia sangat bingung mencari benda berharga di rumahnya. Lalu ia teringat pada sebuah kalung emas pemberian pamannya. Selama ini Fatimah tidak pernah berani menggunakan kalung tersebut karena ia merupakan putri seorang pemimpin umat, hingga kiranya ia tidak pantas menggunakan kalung tersebut sementara masih banyak orang lain yang kesusahan. Tanpa ragu, Fatimah mengambil kalung itu dan membawanya keluar untuk diberikan kepada kakek tersebut.
“Ambillah kalung ini, Kek. Ini satu-satunya benda berharga yang aku miliki. Aku ikhlas memberikannya untukmu. Semoga benda ini bermanfaat bagimu dan Allah menggantikannya dengan yang lebih baik.”
BACA JUGA: Seandainya Fatimah binti Muhammad Mencuri, Niscaya Aku…
Kakek itu terbelalak melihat kalung emas yang diberikan oleh Fatimah. Wajahnya berseri-seri. Ia menimang-nimang kalung yang pasti mahal harganya itu. Ia pasti dapat membeli makanan dan pakaian jika menjualnya.
Terima kasih, wahai putri Rasulullah. Engkau sungguh wanita yang berhati mulia,” katanya senang.
Laki-laki tua itu pun kembali ke masjid untuk menemui Rasulullah. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit,al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015