DIALAH Zaid bin Tsabit. Seseorang yang termasuk golongan sahabat yang masih berusia belia. Dia sepuluh tahun lebih muda dari Ali bin Abi Thalib. Orangtuanya yang berasal dari kabilah Bani Najjar termasuk kelompok awal penduduk Madinah yang menerima Islam. Di bawah bimbingan dan pendidikan orangtuanya, Zaid tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan berwawasan Iuas. Dia mempunyai daya ingat kuat yang melebihi teman-teman seusianya.
Pada saat menanti kedatangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan Abu Bakar di Madinah, yang berhijrah dari Makkah, Zaid gelisah. Dia tak sabar menunggu. Dia bolak-balik pergi ke tepi kota. Sebentar-sebentar, dia melongokkan kepala, melihat kalau-kalau sang Junjungan tercinta telah datang. Betapa senangnya hati Kaum Muslimin Madinah melihat Rasulullah, memasuki batas kota.
BACA JUGA: Pelayan yang Hafal Al-Quran
Ketika Rasulullah sampai di Madinah, orang-orang menyambut Rasulullah dengan penuh rasa syukur. Mereka menawarkan rumah-rumah mereka kepada Rasulullah untuk ditinggali. Namun, berbeda dengan Bani Najjar. Mereka menawarkan seorang pemuda dari kabilah mereka, yaitu Zaid bin Tsabit.
Bani Najjar berharap agar Zaid diterima untuk membantu Rasulullah SAW mengingat kecerdasannya yang luar biasa. Zaid melonjak girang. Rasulullah menerima tawaran pemuka Bani Najjar. Rasulullah sangat menyenangi sahabat ciliknya yang ketika itu baru berusia 11 tahun. Zaid tidak mengecewakan Rasulullah. Dalam waktu sangat singkat, dia dapat menuliskan dan menghafal 17 surah Al-Quran.
Di samping bertugas menuliskan dan menghafal wahyu yang baru diterima Rasulullah, Zaid pun mendapat tugas untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani. Pada waktu itu, kedua bahasa ini sering dipergunakan musuh Islam. Zaid mampu menguasai kedua bahasa ini dalam waktu singkat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar. Zaid mendapat tugas yang sangat penting, yaitu menghimpun Al-Quran. Abu Bakar memanggilnya dan berkata, “Zaid, engkau adalah seorang penulis wahyu kepercayaan Rasulullah. Engkau adalah pemuda cerdas yang kami percayai sepenuhnya. Untuk itu, aku berharap engkau dapat menerima amanah untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran dan membukukannya.”
Zaid tak pernah menduga akan mendapat tugas berat seperti ini. Lalu, dia berkata, “Demi Allah. pekerjaan ini sungguh berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah seberat tugas yang kuhadapi kali ini.”
Akhirnya, melalui musyawarah, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dapat meyakinkan Zaid bahwa langkah pembukuan ini adalah langkah yang amat penting. Zaid tak kuasa menolak. Mulailah Zaid melaksanakan tugas mulia yang dipercayakan kepadanya. Dia bekerja siang dan malam menghimpun ayat-ayat dan surah-surah dari para penghafal Al-Quran dan membandingkan antara satu dan lainnya. Selama menghimpun Al-Quran, Zaid melakukan penyelidikan dari dua sumber:
1. Hafalan yang tersimpan dalam hati para sahabat, dan
2. Tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW
BACA JUGA: Tentang Banjir, Allah Terangkan Dalam Al-Quran
Kedua sumber tersebut, yaitu hafalan dan tulisan harus terpenuhi. Karena sangat berhati-hati, dia tidak menerima data berupa tulisan sebelum disaksikan oleh dua orang yang adil bahwa tulisan tersebut ditulis di hadapan Rasulullah. Zaid sangat takut akan kesalahan dalam menghimpun Al-Quran sekecil apa pun.
Dalam tugas penghimpunan al-Qur’an tersebut membuat Zaid terbebani karena ini bukan merupakan tugas mudah melainkan tugas yang berat serta pertanggung jawabannya sangat berat. Tetapi ada obat penentram hati bagi Zaid dalam menyelesaikan tugasnya tersebut yaitu, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr : 9). []
Sumber: 60 Kisah Seru Sahabat Rasul/ Penulis: Ummu Akbar/ Penerbit: Mizan/September, 2007