DALAM Perjanjian Hudaibiyah, ketika hendak mengirim seorang utusan khusus kepada kaum Quraisy untuk menyeru perdamaian dan membuang jauh-jauh pikiran berperang, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, memanggil ‘Umar ibn AI-Khaththab r.a. Beliau menyampaikan keinginannya agar ‘Umar bersedia menjadi utusan beliau kepada kaum Quraisy.
Nabi SAW meminta ‘Umar untuk menyampaikan penawaran perdamaian yang sama yang sebelumnya hendak disampaikan oleh Khurasy ibn Umayyah r.a. Saat itu, Khurasy tidak dapat menyampaikan penawaran tersebut karena orang-orang Quraisy hendak membunuhnya.
BACA JUGA: Wahai Khalifah Umar, Aku Rindu Anakku
Namun, Umar yang dikenal sebagai tangan kanan Rasulullah juga sebagai al-Faruq atau sang pembela yang haq dan yang bathil kali ini memohon maaf kepada Nabi karena tidak dapat melaksanakan tugas itu.
Umar menolak bukan tanpa alasan. Apalagi yang memberikan perintah adalah Nabi. Permohonan maafnya ini disertai berbagai alasan yang sangat masuk akal, yaitu kerasnya permusuhan yang terjadi antara ‘Umar ibn AI-Khaththab dengan orang-orang musyrik dan Iemahnya perlindungan kabilah yang dia miliki di tengah-tengah kaum Quraisy.
Umar ibn AI-Khaththab, “Wahai Rasulullah sungguh aku khawatir mereka akan mencelakaiku. Dari kalangan Bani ‘Adi ibn Ka’ab, aku tidak mempunyai seseorang yang dapat melindungiku. Sebab, orang-orang Quraisy telah mengetahui permusuhanku dan kekasaranku kepada Bani ‘Adi.” Kemudian, ‘Umar melanjutkan, “Aku menyarankan kepada engkau seorang lelaki yang lebih terhormat daripada aku. Dia adalah ‘Utsman ibn ‘Affan.”
BACA JUGA: Keutamaan Umar bin Khattab yang Langsung Disebutkan Nabi
Nabi SAW pun menerima permohonan maaf ‘Umar ibn AI-Khaththab dan menganggap tepat sarannya tentang mengirimkan ‘Utsman ibn ‘Affan sebagai utusan khusus kepada kaum Quraisy. []
Sumber: 150 Kisah Utsman bin Affan/ Penulis: Ahmad Abdul `Al Al-Thahtawi/ Penerbit: Mizan/ April 2016