Oleh: Rismayanti
Mahasiswa STEI SEBI
ZAKAT dari istilah fikih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang behak. Legitimasi zakat sebagai kewajiban terdapat beberapa ayat dalam al-qur’an.
Kata zakat dalam bentuk ma’rifah disebut 30 kali di dalam al-qur’an, 27 kali diantaranya disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan sisanya disebutkan dalam konteks yang sama dalam salat meskipun tidak didalam satu ayat yang sama. Di antara ayat tentang zakat yang cukup populer adalah surat al-Baqarah ayat 110 yang berbunyi “Dan dirikan shalat dan tunaikan zakat.”
BACA JUGA: Bisakah Orang Kaya Menerima Zakat?
Zakat diwajibkan pada tahun ke-9 Hijriah, sementara shadaqoh fitrah pada tahun ke-2 Hijriah. Akan tetapi ahli hadits memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 Hijriah ketika Maulana Abdul Hasan berkata zakat diwajibkan setelah hijrah dalam kurun waktu lima tahun setelahnya.
Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum. Peraturan mengenai pengeluaran zakat di atas muncul pada tahun ke-9 hijriah ketika dasar Islam telah kokoh, wilayah negara berekspansi dengan cepat dan orang berbondong-bondong masuk Islam.
Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas zakat dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda. Para pengumpul zakat bukanlah pekerjaan yang memerlukan waktu dan para pegawainya tidak diberikan gaji resmi, tetapi mereka mendapatkan bayaran dari dana zakat.
Zakat dan ushr sebagai pendapatan utama bagi negara di masa Rasulullah saw. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam.
Pengeluaran untuk zakatsudah diuraikan secara jelas di dalam al-Qu’an surat At-Taubah ayat 60 yang artinya “sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara. Lebih jauh lagi secara fundamental adalah pajak lokal. Menurut Bukhari, Rasulullah saw berkata kepada Muadz ketik aia mengirimnya ke Yaman sebagai pengumpul dan pemberi zakat, “…katakanlah kepada mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk membayar zkaat yang akan diambil dari orang kaya di antara mereka dan memberikannya kepada orang miskin diantara mereka.”
Di masa pemerintah Abu Bakar, masalah keakuratan perhitungan zakat sangat diperhatikan seperti ia katakan pada Anas (seorang amil) bahwa, “jika seorang yang harus membayar satu unta berumur setahun sedangkan dia tidak memiliknya dan ia mewarkan untuk memberikan seekor unta betina yang berumur dua tahun. Hal tersebut dapat diterima. Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau dua kambing padanya (sebagian kelebihan pembayarannya)”.
BACA JUGA: 5 Kriteria Harta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
Abu Bakar mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rasulullah saw. Menurut Imam Suyuti, ketika berita wafatnya Rasulullah saw tersebar keseluruh penjuru Madinah, banyak suku-suku Arab yang meninggalkan Islam dan menolak untuk membayar zakat.
Sebagaimana di masa Rasulullah saw, pemerintahan Umar bin Khatab memposisikan zakat sebagai sumber pendapatan utama negara Islam. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Pengenaan zakat atas harta berarti menjamin penanaman kembali dalam perdagangan dan perniagaan dalam tidak perlu dilakukan dalam pajak pendapatan. Hal ini juga akan memberi keseimbangan antara perdagangan dan pengeluaran. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya suatu siklus perdagangan yang membahayakan.
Semua surplus pendapatan dalam jumlah-jumlah tertentu harus diserahkan kepada negara, kemudian dana itu dikelola sedemikian rupa sehingga tak seorang pun yang memerlukan bantuan, perlu merasa malu mendapatkan sumbangan. Hal ini juga berkaita dengan hukuman berat bagi orang yang tidak mau membayar zakat sehingga orang tersebut dapat didenda 50% dari jumlah kekayaannya sebagaiman dinyatakan oleh Rasulullah saw sendiri, ”orang yang tidak mau membayar zakat akan saya ambil zakatnya dan setengah dari seluruh kekayaan”.
Pada maa pemerintahan Usman bin Affan dilaporkan bahwa untuk mengamankan dari gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul yang nakal, Usman mendelegasikan kewenangan kepada para pemilik untuk menaksir kepemilikannya sendiri. Terkait dengan zakat, dalam sambutan Ramadahan biasanya ia mengatakan, “lihatlah bulan pembayaran zakat telah tiba. Barang siapa yang memiliki properti dan utang biarkan ia untuk mengurangi dari apa yang dia miliki apa yang dia utang dan membayar zakat untuk properti yang masih tersisa”.
BACA JUGA: Indonesia Zakat Summit 2018, Zakat Solusi Pengentasan Kemiskinan di Era Milenial
Pelaksanaan pemungutan zakat di masa pemerintahan Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin menjadi bukti arti penting zakat bagi pembagunan negara. Sehingga, sebenarnya tidak beralasan bagi sebagian pendapat yang meragukan keefektifan zakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Persoalan selama ini zakat sering dikaitakan dengan masalah politik, sebenarnya hal itu tidak terjadi jika satu sama lain meyakini bahwa zakat sebagai suatu kewajiban yang memiliki fungsi untuk meningkatakan kesejahteraan masyarakan, baik muslim dan nonmuslim (bagi nonmuslim tidak ikenakan zakat melainkan jizyah). []