Oleh: Ernydar Irfan
BERGEGAS saya masuk kemudian duduk di lobbi sekolah. Saya tidak mau lagi terlambat menjemput sang buah hati, karena kemarin sudah terlambat akibat terlalu asik pengajian hingga nyaris lupa harus menjemput jam 10 pagi.
Sepasang suami istri dengan wajah beku diam seribu bahasa. Hingga akhirnya sang istri memecah keheningan.
“Papa langsung pegang Farhan ya, Pa…jangan dikasih tau di sini nanti dia gak kuat. Nanti Mama nungguin Vira,” kata sang istri.
Suaminya mengangguk.
Ibu tersebut lalu duduk disebelah saya, sayapun menyapa beliau.
“Jemput juga ya, Bu,” kata saya.
“Iya Bu, saya jemput keponakan dan anak saya. Kakak saya, bapak keponakan saya meninggal tadi pagi, anaknya belum tahu,” jawabnya dengan wajah yang masih tetap beku.
“Innalillahi wa Innalillahi roji’un. Sakit apa, Bu?” tanya saya prihatin.
Beliau diam dan menelan ludah. Lalu matanya berkaca-kaca. “Korban tabrak lari, Bu,” jawabnya terbata-bata. Tangispun menyeruak.
“Ibu… saya belum minta maaf dengan kakak saya, dia sudah pergi, dengan cara yang seperti ini. Mudah-mudahan kakak saya mau memaafkan kesalahan saya seperti saya memaafkan kesalahan-kesalahannya,” suaranya terisak.
“Kakak saya orang baik, dia begitu bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Kami dia hidupi, dia sekolahkan hingga kuliah, dia kakak yang sangat sayang pada adik-adiknya. Isak tangisnya mengiringi kata-katanya,” Katanya lagi. “Sekarang saya harus menghadapi anaknya yang sedang UN. Semoga anak itu kuat… Semoga Allah berikan kekuatan dan kesabaran buat anak itu, dia anak paling tua.”
Bel tanda waktu ujian usai berbunyi, ibu itu bersegera menghapus air matanya. Saya mengusap punggungnya. “Tenang yaa Ibu..istighfar,” ujar saya.
Sesosok remaja muncul dengan senyum melihat sang tante dan omnya. Sang om memeluk. “Pulangnya bareng Om, kamu bawa motorkan? Biar Om yang bawa, kita pulang ke Kepandaian,” kata om.
Si anak mengangguk setuju, lalu berjalan keluar lobbi.
“Tadi pagi, ayahnya habis antar ibunya kerja, mungkin mau isi bensin ketika memutar dihantam mobil bak terbuka dan terseret. Mobilnya kabur. Ini saya baru selesai urus jenasahnya di RS, jenasah jalan ke rumah, saya jemput anaknya,: kata si ibu dengan tangisan lebih hebat, “Saya gak tega lihat anaknya Bu… ya Allah… saya gak tega,” katanya lagi di sela isak tangis.
Saya mendengarkan sambil terus mengusap punggungnya agar ia tenang.
Tidak berapa lama anak perempuannya keluar.
“Uwak udah gak ada, Vir… Uwa meninggal,” kata perempuan yang saya ajak ngobrol itu sambil terisak.
“Meninggal kenapa, Ma?” tanya putrinya dengan wajah shocked.
“Ditabrak orang, ayo kita cepat pulang. Saya pulang duluan, Bu,” katanya.
“Ibu naik apa pulang?” tanya saya.
“Saya bawa motor, Bu,” jawabnya.
“Ibu bisa berkendara? Kalau tidak biar saya antar pulang, nanti saya minta orang antarkan motor ibu,” kata saya khawatir.
“Enggak kok, Bu… bisa,” jawabnya. “Makasih yaa bu, saya duluan.” Beliau pun berlalu.
Anakku muncul dengan wajah sendu. “Bubu, Kakak gak bisa 4 soal,” katanya.
Saya tersenyum, “Gak apa-apa, Kakak… Kakak udah berusaha, Allah maha berkehendak. Temen kakak, Farhan, papanya meninggal, Kakak mau langsung pulang apa mau ta’ziah dulu?” tanyaku.
“Bubu tau dari mana?” tanyanya.
“Tadi dari tantenya. Jadi gimana?” tanyaku.
“Ta’ziah aja dulu, Bubu,” jawabnya. “Emang Bubu tau rumahnya?”
“Di Kepandaian, kita susuri aja Kepandaian cari bendera kuning,” kataku sambil mengendarai kendaraan.
Setibanya kami di sana, putra almarhmum yang tadi dibonceng omnya malah baru tiba, tubuhnya lunglai dan terus terisak. Saya dan putraku pun tak dapat menahan air mata. Anak itu dibopong, ia didudukan dekat jenazah, dia hanya sanggup menangis sambil memeluk lututnya, satu tangannya menggenggam tangan anakku.
“Aa… Aa yang ikhlas yaa… Papa disayang Allah jadi cepat dijemput, Aa tenangin diri ya… Kalau udah agak tenang wudhu, sudah itu ngaji sama Fashhan doain papa yaa…” kataku berusaha menenangkan.
Ia mengangguk, tidak berapa lama mereka berdua berwudhu dan melantunkan ayat-ayat Alquran.
Saya berjumpa dengan istri almarhum, dia terlihat tegar dan tenang. Tidak berapa lama dua lagi anaknya yang kecil-kecil datang. Mereka bertiga berpelukan, tangis pun meledak. Semua tamu tertunduk berurai air mata.
Saya teringat suatu testimoni seorang rekan ketika kami mengadakan seminar LETS MAKE THE ROAD SAFER. Bagaimana kepedihan keluarga yang tertimpa musibah akibat kelalaian berkendara. Kali ini saya melihatnya di depan mata. Kematian memanglah sebuah takdir dan suratan yang tidak bisa dielakan, tapi mari kita berusaha berkendara dengan aman dan benar, sekadar berusaha agar kita tidak memberikan kontribusi buruk pada takdir orang lain.
Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran, keikhlasan, diberikan kemudahan hidup kedepan, semoga anaknya bisa menjadi anak shalih yang doa-doanya bisa meringankan hisab almarhum dan menerangi kuburnya. Dan semoga almarhum diampuni dosanya, diterima amalannya dan mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. []
DISCLAIMER: Tulisan ini secara ekslusif diberikan hak terbit kepada www.islampos.com. Semua jenis kopi tanpa izin akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kami mencantumkan pengumuman ini di rubrik Kolom Ernydar Irfan dikarenakan sudah banyak kejadian plagiarisme kolom ini di berbagai media sosial.