JAKARTA–Perusahaan teknologi Go-Jek yang bernaung di bawah bendera PT Aplikasi Karya Anak Bangsa kembali mendapat suntikan modal asing. Yang terbaru adalah Go-Jek merampungkan fase pertama putaran pendanaan seri F yang dipimpin oleh Google, JD.com dan Tencent serta beberapa investor lainnya termasuk Mitsubishi Corporation dan Provident Capital.
Berdasarkan rumor di pasar, suntikan modal dari Google-Tencent Cs ini mencapai US$ 1 miliar atau setara Rp 14 triliun (dengan asumsi kurs Rp 14.000).
Menanggapi suntikan dana asing tersebut, anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam menilai, semakin besar porsi asing, membuat Go-Jek diragukan sebagai karya anak bangsa.
BACA JUGA: GoJek-Lazismu Go to Campus, Teknologi untuk Kebaikan Sosial
Ecky pun meminta pemerintah untuk mengambil kebijakan terkait penguasaan asing atas perusahaan-perusahaan startup lokal. Ecky juga beranggapan, semakin dikuasai asing, maka data warga negara Indonesia rawan disalahgunakan.
“Kita jangan sekedar bangga atas keberadaan startup-startup unicorn tersebut, karena faktanya mereka sudah dikuasai asing. Lagi-lagi kita hanya menjadi pasar semata. Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dan taktis mengatasi hal ini,” kata Ecky, seperti diutip dari keterangan tertulis, Jumat, 1 Februari 2019.
Ecky menambahkan, ada tiga potensi masalah jika startup dikuasai asing penuh. Pertama, disrupsi ekonomi yang menimbulkan winner dan loser. Dengan keunggulan teknologi para startup unicorn ini akan menjadi pemenang dalam kompetisi sedangkan pemain tradisional tersisih.
BACA JUGA: Ahmad Dhani Terjerat Kasus Hukum, Ini Kata Melly Goeslaw
Dampaknya, investor asing merebut lebih banyak kue ekonomi. Apalagi pemberlakuan pajak antara bisnis startup dan tradisional berbeda. Pajak untuk perusahaan-perusahaan tersebut dinilai masih sangat longgar.
“Selain tidak fair juga terjadi kebocoran penerimaan negara. Perlu ada level playing field atau aturan main yang sama,” kata Ecky.
Persoalan lain adalah dominasi barang-barang impor di startup e-commerce unicorn yang bisa membanting harga. Ini bisa berakibat produk lokal kian tersisih. Dia memperkirakan 90 persen barang-barang yang diperjualbelikan unicorn e-commerce adalah impor.
Dengan kondisi seperti itu, maka sama saja memperburuk defisit transaksi berjalan dan tidak ada manfaat nilai tambahnya bagi ekonomi keseluruhan, khususnya sektor manufaktur di Indonesia.
Ketiga, kekhawatiran timbul dari sisi penggunaan dan perlindungan keamanan data ini belum jelas regulasinya. Pasalnya, ada potensi data disalahgunakan yang dapat merugikan kepentingan nasional.
Oleh karena itu, ia minta pemerintah harus segera merancang regulasi yang komprehensif dan dapat menjawab tiga isu tersebut. Misalnya dalam hal kepemilikan asing, insentif dan disinsentif fiskal untuk memperkuatkan manfaat bagi ekonomi nasional, maupun aturan yang lebih teknis terkait keamanan data. []
SUMBER: TEMPO.CO