SESUNGGUHNYA kesalahan yang ringan, pada sisi kebenaran yang banyak, telah diampuni. Maka menghukumi seorang rawi (periwayat) hadits, dilihat dari sisi riwayat yang paling dominan yang ada pada dirinya. Jika riwayatnya banyak yang benar, maka dia seorang rawi yang tsiqoh (kuat dan kepercayaan), walaupun memiliki beberapa riwayat yang salah.
Jika riwayat yang salah lebih dominan, maka dia dihukumi rawi yang dhoif (lemah), walaupun dia memiliki beberapa riwayat yang benar. Yang menjadi landasan hukum, adalah apa yang paling dominan yang ada pada dirinya. Demikianlah para ulama’ salaf dari kalangan ahli hadits mengajari kita dalam menilai orang.
BACA JUGA: Motivasi Mengajar Kitab Hadits
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri –rohimahullah- berkata:
ليس يكاد يفلت من الغلط أحد؛إذا كان الغالب على الرجل الحفظ فهو حافظ وإن غلط؛وإذا كان الغالب عليه الغلط ترك
“Hampir tidak mungkin ada seorang yang lepas dari kesalahan. Apabila keterjagaan (terhadap riwayat hadits) pada diri seseorang lebih dominan, maka dia seorang hafidz (yang hafal) walaupun dia (kadang atau punya sedikit) kesalahan. Dan jika kesalahannya lebih dominan, maka ditinggalkan riwayatnya.” [ Syarh Ilalut Tirmidzi : 1/399 karya Ibnu Rajab Al-Hambali –rohimahullah-wafat : 795 H. Cetatakan pertama 1407 H terbitan Maktabah Al-Manar dengan tahqiq : DR. Hamam Abdur Rahim Sa’id ].
Jika kita mencari hafidzul Qur’an (penghafal Al-Qur’an) yang tidak pernah salah dengan hafalannya, maka kita tidak akan menemukannya. Jika kita mencari penghafal hadits yang tidak ada salah dalam hafalannya, maka kita tidak akan menemukannya. Jika kita mencari ulama’ yang tidak punya salah, maka kita tidak akan menemukanya. Jika kita mencari ustadz yang tidak pernah salah, kita tidak akan menemukannya. Jika kita mencari teman yang tidak punya kesalahan, kita tidak akan menemukannya. Karena satu-satunya orang yang terjaga dari kesalahan, hanyalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka tetap pantas disebut hafidzul Qur’an (penghafalan Al-Qur’an), hafidzul hadits (penghafal hadits), syaikh, alim, ustadz, serta masih pantas untuk diambil ilmunya, walaupun mereka memiliki kesalahan. Karena jika ditakar, kesalahan mereka sangat sedikit, dibanding dengan kebaikan, kebenaran, serta jasa mereka kepada Islam dan kaum muslimin.
Telah diriwayatkan dari Abu Hatim Ar-Razi –rohimahullah- dari Sulaiman bin Ahmad Ad-Dimasyqi –rohimahullah- beliau berkata:
قلت لعبد الرحمن بن مهدي: اكتب عمن يغلط في عشرة؟ قال: نعم. قيل له: يغلط في عشرين؟ قال: نعم، قيل له: فثلاثين؟ قال: نعم. قيل له: فخمسين؟ قال: نعم.
“Aku pernah bertanya kepada Abdurrahman bin Mahdi : Apakah boleh untuk ditulis (diriwayatkan) dari seorang yang salah dalam sepuluh (hadits)? Beliau menjawab : Ya. Beliau ditanya lagi: Salah dalam dua puluh hadits? Beliau menjawab: Ya. Beliau ditanya lagi: Tiga puluh? Beliau menjawab: Ya. Beliau ditanya lagi: lima puluh? Beliau menjawab: Ya.” [ Syarh Ilalut Tirmidzi : 1/400 karya Ibnu Rajab Al-Hambali –rohimahullah-wafat : 795 H. Cetatakan pertama 1407 H terbitan Maktabah Al-Manar dengan tahqiq : DR. Hamam Abdur Rahim Sa’id ].
BACA JUGA: Imam Bukhari Salat 2 Rakaat ketika Menulis Satu Hadits
Memperlakukan “orang yang salah” berbeda dengan memperlakukan “kesalahannya”. Kesalahan harus diluruskan dan tidak boleh untuk diikuti. Adapun orang yang salah, maka selama kebenaran dan kebaikan yang ada pada dirinya masih lebih dominan dari kesalahannya dan kekurangannya, maka diperlakukan sebagai orang baik.
Adapun jika kejelekannya lebih dominan dari kebaikannya, maka dia perlakukan sebagai orang jelek. Demikian para ulama ahli hadits mengajari kita. Maka “berlemah-lembutlah wahai ahlus sunnah terhadap ahlus sunnah”. []
Facebook: Abdullah Al Jirani