HATI rajanya diri. Hati yang mengendalikan tubuh seseorang untuk melakukan sesuatu. “Segumpal daging yang apabila baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila rusak, maka rusaklah seluruh tubuh,” begitulah dawuh Rasulullah Muhammad saw.
Ibarat cermin, hati adalah sarana memantulnya pancaran (sinar) keagungan Allah swt. dalam diri hamba-Nya. Jika hati dikotori oleh debu-debu atau keruh, maka keruh dan tak jelas pula pancaran yang akan dipantulkan. P
ancaran keagungan tersebut kemudian termanifestasi kepada seluruh gerak-gerik tubuh dan anggota badan hamba tersebut. Debu-debu dan keruh itu ibarat maksiat, dan pembersihnya adalah ibadah. Pancaran itulah fitrah manusia, yang bernama nuurooniyy (baca: nurani) sejenis cahaya. Tak jarang kita memadankan dua kata itu; hati dan nurani menjadi hati nurani.
BACA JUGA: Maulana Jalaludin Rumi, Sang Pujangga Cinta
Salah satu asma Allah adalah an-Nur, memancarkan cahaya. Al-Qur’an menggambarkan Cahaya-Nya dapat menerangi langit dan bumi, ibarat pelita di dalam kaca, ibarat bintang kejora dan mutiara yang memancarkan sinar yang sangat terang benderang, yang dinyalakan dengan bahan bakar minyak zaitun murni, yang minyaknya saja bisa menerangi meskipun tak ada api. Cahaya yang sangat sempurna, cahaya di atas cahaya. (An-Nur ayat 35).
Cahaya agung tersebut dapat terpancar lewat hati menjadi tingkah laku hamba Allah yang memiliki hati bersih dan kuat. Yang dapat menggerakkan tubuh untuk melakukan kebaikan dan perubahan.
Hati dan pendidikan
Namun, hati yang bersih dan kuat serta pantas memancarkan cahaya keagungan Allah tak bisa begitu saja kita dapatkan. Hati perlu didukung dan diasupi penunjang yang merupakan pendidikan. Semakin baik pendidikan yang menunjang, maka semakin baik pula hati
“Pendidikan adalah hal yang sangat menunjang hati, yang mempengaruhi hati.,” tutur Ustaz Abdul Jalil, Pembina Yayasan Darul Falah Jatiluhur di kediamannya. “Pendidikan Aqidah, yang paling penting pertama yang menentukan keyakinan hati.”
Aqidah ibarat tali, aqad (ikatan) keyakinan antara hamba dan Allah. Keyakinan yang mengikat semua hal kehidupan agar tak bergerak jauh dari Tauhid, mengesakan Allah. Hati yang kuat dengan keyakinan ilmu aqidah, akan kuat pula hubungannya dengan Allah. “Sampai-sampai, orang yang aqidahnya baik dan kuat, sampai menjebloskan dirinya ke penjara, orang itu di penjara dengan hikmah, daripada mengikuti aqidah yang salah.”
BACA JUGA: 6 Faktor Ini Menjadikan Finlandia yang Terbaik dalam Hal Pendidikan
“Kemudian ilmu filsafat dan tasawwuf yang dapat menggerakkan dan membaca diri sendiri mana yang halal dan haram dilakukan,” lanjut ustaz jebolan banyak pesantren salafiyyah itu. Selanjutnya, Ilmu fiqih yang perlu dijadikan tunjangan. Untuk pelaksanaan bagaimana mempraktikkan aqidah (keyakinan) dalam agama Islam, lewat praktik-praktik ibadah. “Kita bisa tahu yang halal, haram, fardlu, makruh, sunnah dan mubah,” kata Ustaz Jalil, panggilannya.
Kita harus menghadap kepada Allah dengan qalbun saalim, hati yang selamat dari ajaran-ajaran dari luar Islam. “Tempuhlah ilmu-ilmu agama yang utama, yang ditunjang dengan ilmu-ilmu umum,” pesan pemimpin kajian rutin ibu-ibu di majelis Al-Falah itu.
Hati dan tasawwuf
“Hati itu sentral, mempengaruhi amal. Hati yang baik tercermin dalam muka, kusut tidaknya hati kadang dapat dilihat dari muka atau wajah,” ujar Pembina Uayasan Muttaqien, Drs. Yusuf, M.Ag.
Al-Quran surat Ar-Ra’du ayat 28 menerangkan bahwa dzikir atau mengingat Allah adalah jalan untuk menenangkan hati, agar semua bagian dari seorang hamba dapat tenang dalam menjalankan ibadah kepada Allah sebagai Tuhannya.
Tasawwuf, ilmu untuk membersihkan diri dan kesucian. Salah satu jenis tasawuf adalah tasawwuf ‘amali. Menjalankan tasawwuf dengan amalan-amalan tertentu atau thariqah agar memperoleh kedekatan diri kepada Allah dan kebersihan hati. Orang yang melakukan salah satu macam tasawwuf ini disebut shuufi. Mereka tak hanya puas dengan shalat, puasa dan ibadah-ibadah normatif lainnya.
“Saat ingin dekat dengan Allah, di samping melaksanakan shalat, puasa dan sebagainya, mereka melakukan dzikir,” lanjut ustaz kelahiran 1949 itu. “Hal tersebut adalah thariqah atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Bahkan, beliau menerangkan, jumlah thariqah ini sangat banyak seperti jumlahnya bintang di langit, atau sebanyak nafas manusia.
“Namun, dari sekian banyak itu,” kata dosen pengampu mata kuliah Akhlaq dan Tasawwuf di STAI DR KHEZ Muttaqien, Purwakarta itu, “Bagi Al-Ghazali diringkas menjadi tiga saja; konsentrasi, tazkiyatun nafs membersihkan diri, dan dzikir.”
BACA JUGA: Ketika Hati Umar menjadi Lembut
Imam Abu Hamid Al-Ghazali adalah seorang hujjatul Islam, tokoh tasawuf akhlaqi, yang pendekatannya melalui akhlak atau kelakuan yang baik. Terkenal dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli: Takhalli adalah mengosongkan diri dari kekotoran dan kontaminasi-kontaminasi dosa serta maksiat, tahalli merupakan langkah selanjutnya yang fokus untuk melakukan kebiasaan atau membiasakan diri untuk melakukan kebaikan dan ibadah. Dan yang terakhir tajalli, keagungan pancaran diri setelah berhasil mendekatkan diri kepada Allah dengan cara memadukan antara takhalli dan tahalli.
Sebagai hamba Allah, ibadah merupakan suatu prioritas utama. Agar ibadah dan hubungan dengan Allah tersebut lancar, memerlukan hati yang bersih. Hati yang ikhlash, terutama saat sholat.
“Intinya, supaya kita beribadah khusyu’, memerlukan hati yang ikhlash dan bersih, mukhlisiinalahuddiin,” pesannya. []
REDAKTUR: ABDILLAH MUSTOFA