AWALNYA Terry Holdbrooks bergabung dengan militer AS agar mampu membayar uang kuliah. Namun kemudian ia menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada gaji untuk membayar kuliahnya–yakni hidayah islam. Terry menemukan Islam di penjara paling ketat di dunia—Guantanamo.
Ketika menceritakan pengalamannya di Islamic Center Bloomington, Terry mengaku frustasi bekerja di Guantanamo. Ia bahkan menjadi pecandu minuman keras, bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Namun, rasa frustrasinya itu pada akhirnya malah mengantarkan Terry kepada Islam.
“Awalnya saya selalu menolak agama. Saya tak pernah berpikir adanya eksistensi Tuhan yang mengusai alam semesta. Kini, saya seorang Muslim.”
Terry Holdbrooks sempat menjalani pelatihan kepolisian militer dua pekan lamanya. Pada saat itu, dia tidak tahu apa-apa mengenai Islam. Kemudian, dalam sebuah kesempatan dia mengunjungi bekas lokasi kejadian 9/11.
Di sana, Terry mendapatkan pandangan yang sepotong-sepotong mengenai orang Islam. Dia mendapatkan arahan bahwa orang Islam tidak akan pernah menerima pandangan Barat.
“Mereka (Muslim) membenci kalian karena kalian punya kebebasan dan demokrasi. Tiap hari, mereka bercita-cita membunuh kalian karena itu.”
Sejak saat itu, Terry terus diingatkan mengenai apa yang telah dilakukan Islam terhadap Amerika. Terry pun sangat memercayainya. Begitulah, sampai akhirnya dia menjadi petugas di penjara Guantanamo.
Di penjara Guantanamo, Terry Holdbrooks melihat langsung kekejaman yang dialami para narapidana. Sekali waktu, para penjaga disuruh untuk membangunkan seluruh narapidana untuk kemudian mereka digiring ke sel-sel yang berbeda setiap 20 menit. Dengan begitu, selama berhari-hari seluruh narapidana tidak tidur, kecuali mereka lolos dari cercaan pertanyaan.
Ada pula seorang narapidana yang dilarang mandi selama lima hari berturut-turut. Begitu kenang Terry Holdbrooks. Banyak narapidana Muslim yang dihalang-halangi untuk menunaikan shalat.
Baru beberapa bulan bekerja sebagai petugas penjara di Guantanamo, Terry Holdbrooks mengaku ia dan beberapa kawannya mulai merasakan frustrasi. Sebagai pelampiasan, mereka kerap minum-minum. Terry Holdbrooks sendiri bahkan mengalami keguncangan psikologis, dan ingin bunuh diri.
“Saya tidak mau bangun dari tidur malam. Sebab, saya tidak ingin menyiksa siapa pun.”
Namun, ketika para penjaga penjara terlibat dalam alkohol, porno, Terry tertarik dengan sikap para narapidana yang justru berbeda dengan para petugas penjara. Mereka nampak biasa saja, Terry kemudian memutuskan dirinya perlu belajar banyak bagaimana para tahanan itu dapat bertahan dalam kondisi menyedihkan dan masih tersenyum.
“Aku tidak tahu apa-apa tentang Islam sebelum bekerja di Guantanamo,” katanya.
Terry kemudian belajar banyak soal Islam, ia mulai berbicara dengan para tahanan tentang politik, etika dan moral, dan soal hidup mereka dan perbedaan budaya. “Kami berbicara sepanjang waktu.”
Rasa penasaran Terry membuatnya semakin giat mempelajari Islam, ia bahkan meluangkan waktu satu jam sehari untuk mendalaminya.
Salah satu tahanan yang sering diajak berbincang-bincang oleh Terry adalah Sang Jenderal—Ahmed Errachidi—seorang narapidana kelahiran Maroko, yang telah tinggal di Inggris selama 18 tahun. Ahmed sebelumnya bekerja sebagai koki, dan menghabiskan lima setengah tahun di Guantanamo karena dituduh mengikuti kamp pelatihan al-Qaida. Ahmed kemudian dibebaskan dari penjara, ia juga dibersihkan dari segala tuduhan sebelumnya.
“Kami berbicara selama berjam-jam,” kata Terry, “bicara tentang buku, musik, filsafat, kami terjaga sepanjang malam dan berbicara tentang agama,” lanjutnya.
Enam bulan kemudian di Guantanamo, Terry mengucap syahadat di hadapan Errachidi. Terry mengubah namanya menjadi Mustafa Abdullah. Penjaga Guantanamo itu sekarang menjadi seorang Muslim.
Terry menghentikan kebiasaan buruknya meminum minuman alkohol, bahkan sedikit demi sedikit meninggalkan hobinya mendengar musik rock.
“Ternyata tidak mudah untuk disiplin menunaikan shalat lima kali dalam sehari tanpa diingatkan oleh rekan-rekan saya,” pungkas Terry sambil tertawa.
Terry pada 2004 silam meninggalkan Guantanamo, ia kemudian keluar dari tentara dengan alasan “gangguan kepribadian”.
“Mimpi buruk soal masa lalu saya, termasuk di Guantanamo, selalu menghampiri,” katanya.
Namun hari ini, Terry adalah seorang Muslim, dan ia nampak terlihat lebih damai dan bahagia. Kekosongan dalam tatapannya–yang mengisyaratkan bekas luka masa kecil dan Guantanamonya–telah ia buang jauh-jauh. []
Sumber: The Guardian.