Oleh: Rindro Suluh Nugroho
DI SEBUAH hutan, tinggalah seorang ayah dengan anak lelakinya semata wayang. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana. Sang ibu telah wafat beberapa tahun yang lalu. Sementara ayah bekerja sebagai seorang buruh tani di desa tetangga.
Ada satu hal yang sangat mengganjal dalam hati dan pikiran sang ayah. Sejak kepergian istrinya tercinta, anak semata wayangnya itu berubah perangainya menjadi sangat keras dan pemarah. Kerjanya setiap hari pergi ke desa sebelah dan mendatangi sebuah kedai untuk sekedar nongkrong dan terkadang mabuk.
Segala hal yang ada di rumah termasuk sang ayah, akan menjadi sasaran kekesalan dan kemarahannya jika ada hal-hal yang tidak menyenangkan dan memuaskan hatinya. Namun sang ayah melihat ada satu celah yang ia pikir bisa membuat anaknya berubah. Setiap malam anaknya sering termenung dan terkadang menangis sendirian di dalam kamarnya, seolah ada sesuatu yang disesali dan mengganggu pikirannya.
BACA JUGA: Tentang Hati, antara Pendidikan dan Kesucian
Sang ayahpun telah merencanakan sesuatu. Keesokan harinya, setiap hari ia selalu menancapkan sebuah paku ke dinding rumah mereka. Waktu terus berlalu, hari berganti minggu dan begitu seterusnya hingga akhirnya paku-paku yang ditancapkan di dinding oleh sang ayah telah memenuhi seluruh rumah mereka.
Sang anak yang semula tidak memperhatikan, akhirnya bertanya pada ayahnya, “Kenapa ayah membuat dinding rumah kita jadi seperti ini? Nampak buruk dengan paku-paku yang sudah karatan !” katanya dengan nada yang ketus.
“Anakku, coba kamu bayangkan dinding di rumah kita sebagai hatimu yang setiap hari kau kotori dengan segala tingkah dan perangai burukmu. Seperti dinding itulah kira-kira hatimu saat ini. Hari demi hari selalu kau lalui dengan sebuah ‘paku’ hingga pada akhirnya hari ini ‘paku-paku’ itu telah memenuhi hatimu,” jawab sang ayah.
Sang anak terdiam, dalam hatinya membenarkan perkataan sang ayah. Tak lama, ia pun tertunduk, seolah tak mampu menahan beban tubuhnya, kakinya pun tertekuk dan ia pun berdiri di atas kedua lututnya. Matanya yang semula terlihat garang nampak sembab dan digenangi oleh air mata yang siap tertumpah.
“Maafkan aku ayah, aku memang anak yang tahu diri. Aku sudah menyakitimu selama ini tanpa aku menyadarinya,” jawabnya sambil terisak-isak dan memeluk kedua kaki ayahnya.
“Ayah sudah memaafkanmu dari dulu, ayah tak pernah marah padamu. Sekarang beridirilah, bantu ayah untuk mencabuti paku-paku itu dari dinding rumah kita,” ajak sang ayah.
Mereka berdua segera mencabuti seluruh paku yang menancap di dinding rumah. Ketika paku terakhir akan di cabut, sang anak melihat betapa bekas paku-paku yang menancap itu telah membuat dinding rumah mereka tak kalah buruk dari sebelum mereka dicabuti. Meledaklah tangisnya saat itu juga sambil memeluk sang ayah.
Cerita di atas mungkin bukan sekali ini saja kita pernah baca dan dengar. Tapi sebagai sebuah ibrah bagi kita, rasanya masih layak untuk disajikan walaupun mungkin dengan gaya penulisan yang berbeda.
BACA JUGA: 4 Ciri Orang Munafik, Hati-Hati Anda Mungkin Salah Satunya
Pernahkah suatu kali kita berpikir, bahwa tanpa disadari kita setiap hari dalam detik, menit dan jamnya terus menerus mengotori hati kita baik disadari atau tidak? Apapun yang kita perbuat baik dalam keseharian di dunia nyata mupun segala ucapan kita di dunia maya.
Kita menyadari bahwa kita bukanlah malaikat yang ditakdirkan untuk hidup tanpa hawa nafsu. Kita adalah manusia yang berasal dari sesuatu yang hina. Salah satu ciptaan Allah yang memiliki karakter yang khas dan terkadang demikian ‘kompleks’ nya.
Ibarat dinding dalam kisah di atas, maka disadari atau tidak kita telah menancapkan paku satu demi satu di dinding hati kita. Jika kita tak rajin-rajin muhasabah (introspeksi), bukan tak mungkin bahwa pada akhirnya paku-paku itu akan terus tertancap hingga akan memenuhi dinding hati kita.
Jangan sampai kita terlambat utuk menyadarinya hingga paku-paku itu berkarat dihati kita. Pada saat itu kita akan menyadari betapa sulitnya menghilangkan bekas-bekas dari tancapan paku-paku tersebut.
Karena bekas-bekas paku tersebut sepanjang sisa hidup akan terus membayangi diri kita. Kita akan senantiasa dibayangi oleh kekhawatiran dan rasa bersalah akan kesalahan-kesalahan kita di masa lalu. Jika dinding bisa di dempul untuk menghilangkan bekas tancapan paku, maka kita akan kesulitan untuk menambal bekas-bekas paku dihati kita.
Seberapa banyak kita bisa menjaga segala perbuatan dan ucapan kita dari hal-hal negatif, sebanyak itu pula hati kita akan terhindar dari ‘penyakit’. Seberapa banyak kita mempersiapkan akhirat kita, kita akan dapatkan ganjaran yang berlipat kelak. Dengan catatan, kita tidak berakhir dengan Su’ul Khotimah. Ketika kita berakhir dengan tidak baik, maka sirna sudah segala susah payah kita selama di dunia. Segala tabungan pahala tak akan bisa membela kita di hari pengadilan nanti. []