“SAYA sudah berusaha dengan maksimal, mau apa lagi?”
Biasanya orang yang diberikan pertanyaan seperti itu akan menyarankan untuk bertawakal dan menyerahkan hasilnya pada Allah.
Sebenarnya kalimat tersebut tidak salah, memang sebagai manusia diharuskan untuk berusaha maksimal dan menyerahkan semua hasil dari usaha yang dilakukan kepada Allah. Ini yang dinamakan tawakal.
Namun dari mana kita tahu bahwa kita telah benar-benar berusaha secara maksimal? Atau hanya merasa sudah berusaha secara maksimal? Banyak orang yang menyerah di tengah jalan dan mereka beralasan sudah berusaha dengan maksimal, padahal belum tentu mereka benar-benar berusaha dengan maksimal.
BACA JUGA: Penyesalan 30 Tahun Syeikh Sariy As Saqathy
Ada sebuah cerita yang sangat bagus, bagaimana gambaran makna berusaha dengan maksimal dengan kemampuan kita. Dalam bahasa Al Qur’an disebut dengan istilah mastatho’tum.
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS At-Taghabun:16)
Ada sebuah cerita tentang seorang Syekh Abdullah Al Azzam, pada suatu ketika syekh mendapat pertanyaan dari muridnya.
“Ya, syekh apakah yang dimaksud dengan kata mastatho’tum (semampumu)?”
Syekh tidak langsung menjawab pertanyaan muridnya. Tetapi beliau mengajak muridnya ke lapangan. Syekh Abdullah Al Azzam kemudian menyuruh murid-muridnya untuk berlari mengelilingi lapangan semampu mereka.
Titik awalnya sama tetapi garis akhirnya berbeda-beda, ada yang hanya tiga putaran saja sudah capek, ada juga yang lebih dari jumlah tersebut.
Setelah semua muridnya menepi semua, tanpa diduga syekh itu ikut berlari mengelilingi lapangan. Para murid pun kaget dan tidak tega melihat gurunya yang sudah tua berlari. Sang syekh sudah terlihat letih dan wajahnya pucat pasih, tetapi tidak ada tanda-tanda syekh untuk menghentikan larinya sampai akhirnya sang syekh jatuh pingsan.
Para murid pun langsung berlari untuk membangunkan sang syekh. Saat syekh tersebut terbangun, beliau langsung mengatakan “Inilah yang disebut dengan semampu kita (mastatho’tum). Berusaha dengan semaksimal mungkin sampai Allah sendiri yang menghentikannya.”
Banyak sekali orang pemalas yang gampang untuk menyerah dan mudah sekali mengatakan sudah berusaha dengan maksimal. Dia mengatakan “Sudah tidak bisa lagi” padahal yang sebenarnya adalah “sudah tidak mau lagi”. Banyak sekali contoh yang orang yang mengatakan sudah tidak sanggup atau tidak bisa, kenyataannya masih bisa. Jadi sebenarnya “tidak bisa atau tidak mau?”
BACA JUGA: Syeikh Ali Jaber, Sudah Hafidz Quran di Usia 11 Tahun
Mastatho’tum tidak hanya diterapkan dalam hal ikhtiar saja. Tetapi juga harus diterapkan dalam hal berdo’a. Haruslah seimbang antara usaha dan doa.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675). []
REDAKTUR : LARAS SETIANI