SOAL: Kami sekelompok pemuda muslim mengadakan acara “mabit bersama” di suatu masjid. Yaitu tidur di masjid dengan diiringi beberapa acara yang telah disusun, diantaranya sholat malam secara berjama’ah. Hal ini kamu lakukan secara berkala. Apa hukum perbuatan ini? karena ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa hal ini sebagai perbuatan bid’ah. Mohon penjelasannya.
Jawab: Tidur di masjid, merupakan perkara yang boleh. Tidak ada dalil yang melarang dalam masalah ini sejauh pengetahuan kami. Bahkan dalil yang ada, menunjukkan akan bolehnya hal ini. Di antaranya, hadits yang diriwayatkan dari Aisyah –rodhiallohu ‘anha- beliau berkata:
أُصِيبَ سَعْدٌ يَوْمَ الخَنْدَقِ فِي الأَكْحَلِ، «فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْمَةً فِي المَسْجِدِ، لِيَعُودَهُ مِنْ قَرِيبٍ فَلَمْ يَرُعْهُمْ» وَفِي المَسْجِدِ خَيْمَةٌ مِنْ بَنِي غِفَارٍ، إِلَّا الدَّمُ يَسِيلُ إِلَيْهِمْ، فَقَالُوا: يَا أَهْلَ الخَيْمَةِ، مَا هَذَا الَّذِي يَأْتِينَا مِنْ قِبَلِكُمْ؟ فَإِذَا سَعْدٌ يَغْذُو جُرْحُهُ دَمًا، فَمَاتَ فِيهَا
“Pada hari peperangan Khandaq, Sa’d terluka pada bagian lengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mendirikan tenda di dalam masjid untuk menjenguk Sa’d dari dekat, sementara di Masjid banyak juga tenda milik bani ghifar. Kemudian banyak darah yang mengalir ke arah mereka (orang-orang bani Ghifar), maka mereka pun berkata, ‘Wahai penghuni tenda! Cairan apa yang mengenai kami ini? Ia muncul dari arah kalian? ‘ Dan ternyata cairan itu ada darah Sa’d yang keluar sehingga ia pun meninggal.” [ HR. Al-Bukhari : 463 dan Muslim : 65 ].
BACA JUGA: Bolehnya Berdzikir dengan Biji Tasbih dan Bantahan terhadap yang Membid’ahkannya (1)
Sisi pendalilan dari hadits di atas, bahwa Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri yang mendirikan tenda di dalam masjid untuk Sa’ad yang terluka. Tentunya, Sa’ad istirahat dan tidur di dalam tenda tersebut. Maka hal ini menunjukkan akan bolehnya tidur di dalam masjid.
Dalam riwayat lain dari Aisyah –radhiallohu ‘anha- tentang seorang budak perempuan hitam. Disebutkan dalam riwayat itu :
فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ
“Sahaya ini memiliki rumah kecil di dalam masjid.”[ HR. Al-Bukhari : 439 ].
Hadits ini, dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam “Shohih-nya” dalam Bab yang berjudul : باب نوم المرأة في المسجد“Bab Tidurnya Seorang Wanita di Masjid.” Kemudian judul bab tersebut dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- beliau berkata:
ومقصود البخاري بتخريج هذا الحديث في هذا الباب: أنه يجوز للمرآة أن تقيم في المسجد وتنام فيه، فإن هذه المرأة كان لها خباء في المسجد تقيم فيه.
“Maksud Al-Bukhari mengeluarkan hadits ini dalam bab ini : Sesungguhnya diperbolehkan bagi wanita tersbut untuk tinggal di masjid dan tidur di dalamnya. Maka sesungguhnya wanita ini memiliki rumah kecil di dalam masjid yang dia tinggal di dalamnya.” [ Fathul Bari : 3/254 ]
Al-Imam Ash-Shan’ani –rahimahullah- berkata:
و في الحديث دلالة على إبَاحَةِ الْمَبِيتِ وَالْمَقِيلِ فِي الْمَسْجِدِ
“Di dalam hadits ini terdapat dalil akan bolehnya “mabit” (tidur malam) dan “maqil” (tidur siang) di masjid…” [ Subulus Salam : 1/221 ].
Adapun sholat malam secara berjama’ah, maka sebelumnya perlu kita sampaikan terlebih dahulu, bahwa ada suatu kaidah yang disebutkan oleh para ulama’ yang berbunyi:
أن كل ما لا تسن فيه الجماعة-لمواظبة النبي –صلى الله عليه و سلم- على فعله فرادى يجوز فعله جماعة بلا كراهة
“Sesungguhnya apa yang tidak disunahkan berjama’ah di dalamnya -karena Nabi senantiasa melakukannya secara sendiri-, boleh dilakukan secara berjama’ah tanpa dimakruhkan sama sekali.”
Seringnya, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menunaikan sholat malam secara munfarid (sendirian). Namun, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa jika dilakukan secara berjama’ah dilarang. Buktinya, pada saat beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- sholat malam sendiri kemudian ada sebagian sahabat yang ikut masuk untuk berjama’ah dengan beliau, maka hal itu tidak diingkari oleh beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam-.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلم وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: «نَامَ الغُلَيِّمُ» أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ، حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Aku bermalam di rumah bibiku (Maimunah binti Al Harits), isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersamanya karena memang menjadi gilirannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat isya`, lalu beliau pulang ke rumahnya dan shalat empat rakaat, kemudian tidur dan bangun lagi untuk shalat.” Ibnu Abbas berkata, “Beliau lalu tidur seperti anak kecil (sebentar-sebentar bangun) -atau kalimat yang semisal itu-, kemudian beliau bangun shalat. Kemudian aku bangun dan berdiri si sisi kirinya, beliau lalu menempatkan aku di kanannya. Setelah itu beliau shalat lima rakaat, kemudian shalat dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat subuh.”[ HR. Al-Bukhari : 117 ].
BACA JUGA: Bolehnya Berdzikir dengan Biji Tasbih dan Bantahan terhadap yang Membid’ahkannya (2-Habis)
Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah- setelah Al-Imam Abul Barakat membawakan beberapa hadits –diantaranya hadits di atas- berkata:
الْأَحَادِيثُ سَاقَهَا الْمُصَنِّفُ هَهُنَا لِلِاسْتِدْلَالِ بِهَا عَلَى صَلَاةِ النَّوَافِلِ جَمَاعَةً وَهُوَ كَمَا ذَكَرَ، وَلَيْسَ لِلْمَانِعِ مِنْ ذَلِكَ مُتَمَسَّكٌ، يُعَارِض بِهِ هَذِهِ الْأَدِلَّةَ.
“Hadits-hadits tersebut dibawakan oleh pengarang di sini untuk dijadikan dalil (bolehnya) sholat nafilah (sunnah) secara berjama’ah, dan hal ini sebagaimana dia nyatakan. Orang yang melarang hal itu tidak memiliki peganggan (dalil) yang menentang dalil-dalil ini.” [ Nailul Author : 3/95 ].
Adapun mengkhususkan waktu tertentu secara berkala untuk mengadakan kegiatan sholat malam berjama’ah atau yang biasa diistilahkan dengan “MABIT” yang merupakan singkatan dari “Malam bina Iman dan taqwa”, maka boleh saja. Karena mengkhususkan waktu atau tempat tertentu untuk melaksanakan suatu ibadah adalah boleh.
Dalilnya, apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ، مَاشِيًا وَرَاكِبًا» وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا «يَفْعَلُهُ»
“Adalah Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- datang ke masjid Quba’ setiap hari Sabtu dalam keadaan berjalan kaki dan naik kendaraan. Dan Ibnu Umar –rodhiallohu ‘anhuma- melakukannya.” [ HR. Al-Bukhari : 1193 dan Muslim : 520. Dan lafadz di atas lafadz Al-Bukhari].
Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- datang ke masjid Quba’ setiap hari Sabtu, untuk melakukan sholat dua rekaat di sana. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain masih dari sahabat Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ
“Maka beliau (Rosulullah) sholat dua rekaat di dalamnya (masjid Quba’). [ HR. Al-Bukhari : 1194 ].
Al-Hafidz Ibnu Hajar –rohimahullah- berkata:
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى اخْتِلَافِ طُرُقِهِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِبَعْضِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ
“Di dalam hadits ini beserta berbagai jalan-jalan periwayatannya menunjukkan, bolehnya untuk mengkhususkan sebagian hari dengan sebagian amalan sholih dan terus-menerus di atas hal itu.” [ Fathul Bari : 3/69 ].
BACA JUGA: Tasbih, Bolehkah Digunakan ataukah Bid’ah?
Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata:
وَقَوْلُهُ كُلَّ سَبْتٍ فِيهِ جَوَازُ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِالزِّيَارَةِ وَهَذَا هو الصواب وقول الجمهور وكره بن مَسْلَمَةَ الْمَالِكِيُّ ذَلِكَ قَالُوا لَعَلَّهُ لَمْ تَبْلُغْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ
“Ucapannya : “setiap Sabtu”, di dalamnya terdapat dalil bolehnya untuk mengkhususkan sebagian hari untuk ziarah. Dan ini yang benar dan merupakan pendapat Jumhur (mayoritas ulama’). Ibnu Maslamah Al-Maliki memakruhkan hal itu. Para ulama’ berkata : mungkin hadits-hadits ini belum sampai kepadanya.” [ Syarh Shohih Muslim : 9/171 ].
Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan untuk dibagikan kepada teman-teman anda. Barokallohu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani