SUNGGUH, Allah SWT memiliki berlaksa cara untuk mengangkat derajat seorang hamba. Meski sebelumnya hamba itu jauh dari kebaikan, namun ketika hatinya mendapat sinar hidayah, seketika ia menjadi manusia yang mulia. Keburukan sebesar biji zarah akan mendapatkan ganjarannya. Kebaikan sebesar biji zarah akan menemukan pahalanya. Tak terkecuali `Amr bin Uqaisy.
Siapa pun mengenal ‘Amr sebagai rentenir. la meminjamkan uangnya untuk mengambil bunga darinya.
Kecintaannya terhadap dunia itu pula yang menjadikannya terhalang untuk masuk Islam, sebab Islam melarang segala bentuk praktik kecurangan. Ambisi untuk menghimpun dinar dan dirham membelit langkahnya menuju cahaya.
BACA JUGA: Kerinduan Sahabat Muhajirin terhadap Mekah
Ia merupakan orang yang rakus ia senantiasa ingin menuntaskan semua piutang terlebih dahulu sebelum masuk islam, karena baginya bila semua piutang tidak dituntaskan itu merupakan suatu kerugian. Sungguh sayang jika harus kehilangan harta sebagai tebusan iman. ‘Amr berniat memeluk Islam saat ia telah mendapatkan semua bunga pinjaman dari para nasabahnya.
Suatu hari, saat terjadi Perang Uhud, ‘Amr terheran-heran melihat suasana kampungnya yang sepi. “Di manakah para keponakanku? Di manakah sahabat-sahabatku? Mengapa kampung ini sepi sekali?” tanyanya pada seseorang.
‘Amr yang hatinya tertutup gelap dunia sama sekali tak mengetahui keberangkatan kaum Muslimin ke medan jihad.
“Mereka semua sedang berperang bersama Rasulullah di Uhud,” jawab orang itu.
Sejenak ‘Amr terdiam. Ada rasa malu menghempas. Panggilan hatinya untuk ke medan perang tiba-tiba tak terbendung. Sahabat-sahabatnya mengadu nyawa, sedangkan ia nyaman di kampung menunggu orang-orang membayar hutang. Ah, betapa piciknya aku, batin ‘Amr.
‘Amr pun bersicepat mengganti pakaiannya dengan baju besi. la keluarkan kuda terbaik dari kandang dan memacunya menuju Uhud.
Pertempuran tengah terjadi saat ‘Amr tiba.
“Hai, ‘Amr! Menyingkirlah dari kami, keadaan sangat berbahaya,” teriak seorang sahabatnya saat melihat ‘Amr memasuki medan Uhud.
“Sesungguhnya aku telah beriman seperti kalian! Aku beriman kepada Muhammad dan Rabb Muhammad!” balas
‘Amr melaju ke medan tempur. Dengan pedang di tangan, ia babat musuh-musuh kaum Muslimin. Rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya mendadak tumpah ruah dalam dadanya. Menyaksikan betapa kaum Muslimin gigih memperjuangkan agama mereka, semangat ‘Amr turut membara. Ia ingin menjadi bagian dari para tentara Allah.
Setelah perang usai, Rasulullah dan para sahabat yang masih hidup menyusuri padang Uhud. Mereka mencari sahabat-sahabat yang telah syahid untuk dishalatkan dan dikebumikan. Juga mencari sahabat-sahabat yang terluka untuk diobati. Mereka menemukan ‘Amr tergeletak dengan luka hampir di sekujur badan. ‘Amr yang mualaf itu pun lantas dibawa pulang ke rumahnya.
BACA JUGA: Sahabat yang Ditolong Singa
Beberapa hari kemudian, datanglah Sa’d bin Mu’adz ke rumahnya. Ia ditemui oleh saudara perempuan ‘Amr.
“Tolong tanyakan kepada ‘Amr, apakah dia melakukan semua ini demi membela kaumnya, marah karena mereka, ataukah marah karena Allah dan Rasul-Nya?”
`Amr pun lantas ditanya. Dan ia menjawab, “Aku marah karena Allah dan Rasul-Nya.”
Tak lama kemudian, ‘Amr bin Uqaisy meninggal dunia. Rasulullah menggolongkannya sebagai ahli janah, meski sekali pun ia belum pernah mengerjakan shalat. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015