JANGAN lupakan sejarah, begitu orang bijak berkata kepada kita. Kalimat ini sebenarnya hanya kutipan bebas dari firman Allah dalam Alquran semisal ayat 11 surat Al-An’am. Qul siiruu fil ardhi tsummanzhuruu kaifa kaana ‘aqiibatal mukadzdzibiin. Katakanlah: berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.
Karena itu, Allah swt. menceritakan kepada kita begitu banyak kisah tentang sejarah bangsa-bangsa yang telah musnah. Ada kaum Ad, kaum Tsamut, kaumnya Nabi Luth, kaumnya Nabi Syu’aib. Juga kisah hancurnya kekuasaan Fir’aun.
BACA JUGA: Ramadhan, Tidak ada yang Tahu Pasti Apakah Usia akan Sampai?
Bagi kita seharusnya belajar sejarah bukan sekadar menghafal rentetan peristiwa. Tapi, pencarian visi. Belajar dari kesalahan bangsa-bangsa yang telah binasa. Mencari akar sebab kehancuran mereka, lalu merumuskan diri untuk menghindar dari nasib buruk seperti mereka.
Kita memang harus belajar dari sejarah. Keharusan itu lebih wajib lagi bagi bangsa kita. Kita harus punya waktu khusus untuk berkontemplasi. Mungkin Idul Fitri salah satu momentum kontemplasi bagi kita untuk menjawab pertanyaan ini: benarkah kita di era reformasi ini adalah bangsa yang terdiri dari manusia-manusia baru yang berbeda dari orang-orang di masa Orde Baru yang kita koreksi?
Sebuah perubahan hanya bisa dilakukan dengan mengubah paradigma. Set mental yang harus diubah dulu, begitu kata pakar psikologi. Mulailah dengan akidah, begitu kata pakar dakwah. Jika set mentalnya belum diubah, manusia itu bukanlah manusia baru. Bila tampak berubah, tidak akan permanen. Hanya ganti topeng saja.
BACA JUGAL Bagaimana Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan?
Sebenarnya Ramadhan bukanlah bulan tobat masal, sementara 11 bulan selebihnya boleh berbuat semaunya. Alangkah indahnya jika di dalam diri warga Indonesia yang muslim, Ramadhan ada sepanjang tahun. Inilah manusia Indonesia yang kita damba. Manusia baru yang bisa membuat sejarah gemilang bagi bangsa ini. []
SUMBER: MAJALAH SAKSI JAKARTA