Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
IBNU Taimiyah menyebutkan sebuah atsar, “Sesungguhnya kekuatan orang mukmin itu ada pada hatinya dan kelemahan pada fisiknya. Sedangkan kekuatan orang munafik ada pada fisiknya dan kelemahan ada dalam hatinya.”
Di dalam hati terletak kekuatan sesungguhnya, sebab Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat itu bukan dengan bergulat, tapi orang kuat itu ialah yang menguasai dirinya saat marah.”
Sebaliknya, Allah Berfirman tentang keelokan fisik dan kepandaian dalam berkata-kata orang munafik, “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum, dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka,” [QS. Al Munafiqun: 4].
Padahal dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
Dalam Kitabul Iman, Ibnu Taimiyah mengindikasikan bahwa salah satu sebab kemunafikan adalah ujian dari Allah berupa kekalahan yang diderita golongan beriman. Ketika Rasulullah mengalami kekalahan pahit pada Perang Uhud, setidaknya 300 orang dari barisan muslimin yang dipimpin Abdullah bin Ubay keluar barisan membelot. Ironisnya, anaknya, Abdullah bin Abdullah bin Ubay, adalah seorang sahabat mulia dan setia bersama Rasulullah hingga akhir.
Hati yang lemah tidak akan kokoh dalam menetapi kebenaran meski lahiriahnya berada di atas kebenaran. Abdullah bin Ubay sendiri mulanya sering berdakwah di tengah manusia setiap hari Jumat untuk menyeru mereka agar menaati Rasulullah.
Selain kekalahan, kemunafikan Abdullah bin Ubay ditengarai oleh kedudukan dunia. Sebelum Rasulullah menerima wahyu, Abdullah adalah orang yang diagungkan di tengah kaumnya sampai-sampai mereka hendak mendudukkannya bak raja. Setelah nubuwah, agenda politiknya pupus.
Dengan kekalahan kaum muslimin dalam Perang Uhud, hati orang yang mengaku beriman diuji kejujurannya. Allah Berfirman, “Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman. Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik,” [Ali Imron: 166-167].
Allah selalu Menyeleksi siapa saja yang mengaku beriman melalui ujian dan cobaan hingga jelas mana yang jujur, dusta, atau ragu. Ujian dan cobaan menuntut kesabaran, dan kesabaran itu pahit sebagaimana obat. Namun setelahnya, Allah Menyiapkan ganjaran dan hikmah yang besar, diantaranya kejelasan mana kawan mana lawan.
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini, sehingga Dia Menyisihlan yang buruk (munafik) dan yang baik (mukmin),” [Ali Imron: 179].
Ketika kaum muslimin memperoleh kemenangan, mereka menampakkan keislamannya. Namun ketika Allah Uji dengan kekalahan, mereka menyambut golongan yang menang dengan suka cita. Ini adalah indikasi kelemahan hati bahkan sirnanya keimanan. Waiyyadzubillah. []