JAKARTA–Bupati Pandeglang Irna Narulita kini tengah menjadi sorotan. Pasalnya, dia membeli mobil dinas Land Cruiser Prado senilai Rp 1,9 miliar. Sang suami yang juga eks Bupati Pandeglang, Dimyati Natakusumah, membela istrinya tersebut dengan menjelaskan spesifikasi mobil.
Dimyati mengatakan, mobil seperti itu diperlukan karena kondisi geografis Pandeglang dan tidak dipakai untuk urusan pribadi.
BACA JUGA: Goweser Jogja Peduli Dilepas, Relawan ACT Lanjutkan Gowes menuju Banten
“Pandeglang itu tidak seperti di Jakarta sehingga diperlukan mobil 4WD, termasuk untuk tamu yang kadang-kadang pakai heli, pakai sedan. Tapi itu mobil rakyat. Itu mobil nggak jadi milik (pribadi), itu mobil rakyat, fasilitas,” ujar Dimyati kepada wartawan, Selasa (12/3/2019).
Dimyati menambahkan, mobil tersebut sudah sesuai dengan standar yang diatur Permenkeu Nomor 76/PMK.06/2015. Kapasitas maksimal silinder untuk mobil dinas kelas SUV, menurut Dimyati, adalah 3.500 cc.
“Karena di peraturannya itu cc, aturannya 3.500 cc. Speknya sama, kalau melebihi cc yang ditentukan, saya kan membuat peraturan UU, waktu membuat UU begitu, jelas aturannya. Masalah harga mobil, disesuaikan dengan mobilnya. Kan yang ditentukan bukan nilainya, tapi cc-nya,” tutur eks politikus PPP ini.
Dimyati juga menjelaskan, sebenarnya bisa saja dilakukan pengadaan mobil dinas dengan harga yang lebih rendah daripada Land Cruiser Prado. Namun ia memastikan mobil yang dipakai Irna untuk keperluan dinas.
“Sebetulnya bisa seperti Fortuner. Mobil itu sebagai fasilitas dan tidak hanya digunakan Bu Irna, tapi untuk tamu negara. Banyaklah. Sehingga diperlukan kendaraan. Memang harganya mahal, kalau lihat di media Rp 1,9 miliar. Kalau lihat harganya terlalu tinggi sih, tapi sudah dibeli. Yang penting tidak boleh jadi milik sendiri, karena ini mobil pemerintah, mobil rakyat,” kata Dimyati.
BACA JUGA: BSMI Berikan Dukungan Psikososial ke Penyintas Anak di Banten
Sebelumnya, pembelian mobil Land Cruiser Prado ini disorot lantaran pendapatan asli daerah (PAD) Pandeglang pada 2018 hanya Rp 205 miliar. Wilayah tersebut juga sampai saat ini masih termasuk kategori wilayah tertinggal dibanding daerah lain di Banten. Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM mengkritik kebijakan ini.
“Kebijakan ini jelas tidak sensitif sosial. Tidak peka pada situasi kemiskinan di daerahnya. Sangat disayangkan dilakukan oleh kepala daerah yang harusnya bekerja keras untuk membebaskan masyarakatnya dari kemiskinan bukan malah menikmati fasilitas mewah,” kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Oce Madril, Selasa (12/3/2019). []
SUMBER: DETIK