Oleh: Ust. Ahmad Mudzoffar Jufri
RAMADHAN merupakan salah satu sarana dan momentum istimewa bagi setiap mukmin atau mukminah untuk ber-muhasabah dan bercermin diri, yang dengannya ia bisa mengetahui tingkat keimanannya, kualitas ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, dan kadar kerinduannya pada kehidupan ukhrawi yang bahagia.
Dan melalui cermin Ramadhan, seseorang bisa menguji diri dan hatinya, untuk mengetahui sudah berada di tingkat apakah ia? Apakah tingkat iman dan taqwanya masih tetap berada di tingkat dasar: zhalimun linafsih (aniaya terhadap diri sendiri), atau sudah naik ke tingkat menengah: muqtashid (pas-pasan, sedang-sedang saja, dan dalam batas minimal aman dan selamat), atau alhamdulillah sudah sampai di tingkat tinggi: sabiqun bil-khairat (pelopor dan terdepan dalam berbagai kebaikan)?
BACA JUGA: Kenapa Harus Semangat Puasa Ramadhan?
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada golongan yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada kelompok pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang selalu di depan dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (QS. Faathir: 32).
Bercermin Diri Menjelang Ramadhan
Kita hendaknya bertanya kepada diri kita masing-masing: bagaimana sikap hati dan diri kita dalam menyongsong dan menyambut Ramadhan? Bagaimana ketika kita tahu bahwa Ramadhan sudah semakin dekat dan telah di ambang pintu?
Apakah hati kita merasa berat karena akan bertemu dengan bulan beban yang serba memberatkan, merepotkan dan mengekang kebebasan? Atau tidak merasa berat, tapi sikap hati kita biasa-biasa dan santai-santai saja?
Atau hati serasa berbunga-bunga karena demikian rindunya ingin segera bersua dengan kekasih hati, sang tamu agung nan mulia, yang senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya?
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Ramadhan telah datang kepada kalian, -ia adalah- bulan berkah, Allah -Azza wa Jalla- telah mewajibkan kepada kalian berpuasa. Di bulan itu pintu-pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup dan syetan-syetan pembangkang dibelenggu. Demi Allah di bulan itu ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat kebaikannya, maka sungguh berarti benar-benar ia telah terhalang/terjauhkan (dari kebaikan/rahmat Allah)” (HR. An-Nasaa-i, Ahmad dan Al-Baihaqi).
Bercermin Diri Selama Ramadhan
Pertama, bertanyalah kepada diri sendiri bagaimana kita memanfaatkan momentum istimewa yang bernama Ramadhan? Karena setiap waktu dalam bulan Ramadhan, setiap detiknya, setiap menitnya, setiap jamnya, setiap harinya, setiap malamnya, setiap siangnya, setiap petangnya, setiap paginya dan seluruhnya, adalah momentum istimewa yang penuh barokah, penuh rahmah, penuh maghfirah, penuh peluang pembebasan dari api neraka, pengabulan doa, penerimaan tobat, pelipatgandaan amal ibadah dan lain-lain, khususnya pada sepuluh malam dan hari terakhir, dan puncaknya pada malam Lailatul Qadar. Apakah hati, jiwa dan perasaan kita sudah cukup peka, sehingga selalu bisa menyadari dan merasakan itu semua?
Nah, kualitas keimanan dan kadar ketakwaan seseorang sangat ditentukan oleh sikap dan upayanya untuk menggapai kemuliaan selama Ramadhan, demi menyadari bahwa ia sedang berada dalam waktu-waktu istimewa bahkan super istimewa dan peluang-peluang emas bahkan berlian, yang sama sekali jauh berbeda dan tidak bisa dibandingkan dengan waktu-waktu dan peluang-peluang di bulan lain!
Maka masing-masing kita harus melakukan muhasabah minimal harian bahkan setiap saat selama Ramadhan, dan bertanya pada diri sendiri: amal istimewa apa yang sudah dibuat dan dilakukannya pada waktu-waktu, hari-hari dan malam-malam yang telah berlalu dari bulan istimewa ini? Sudah istimewakah puasanya, shalatnya, qiyamullailnya, tilawahnya, dzikir-doanya, infak-sedekahnya, dan amal-amal shalihnya yang lain?
Ya, yang harus kita muhasabahi memang tentang seberapa istimewa amal-amal shalih itu telah kita lakukan. Karena jika amal-amal shalih yang kita lakukan selama Ramadhan ini, baru sama dengan yang kita lakukan di bulan-bulan lain, meskipun tentu itu bagus dan harus, namun masih belum cukup, karena itu berarti kita masih menyikapi bulan Ramadhan sama dengan yang lain, dan belum mengistimewakannya. Karena mengistimewakan Ramadhan nan istimewa haruslah dengan amal-amal yang serba istimewa, dan tidak cukup dengan yang biasa-biasa saja!
Kedua, selama Ramadhan kita bisa bercermin untuk melihat hakekat jiwa kita apa adanya, tanpa campur tangan syetan penggoda dan pengganggu utama, yang – berdasarkan hadits muttafaq ‘alaih – dirantai dan dibelenggu selama Ramadhan. Artinya, ketika selama Ramadhan seseorang masih punya niat buruk, kecenderungan buruk, dan amal buruk, maka ia harus sadar bahwa, keburukan itu murni berasal dari potensi fujur (QS. Asy-Syams: 7-10) dalam jiwanya, dan dari nafs ammarah bis-su’-nya (QS. Yusuf: 53), atau dari nafs musawwilah-nya (QS. Yusuf: 18), dan bukan dari godaan syetan yang sedang dirantai dan dibelenggu, yang berarti sedang nonaktif dari fungsi dan tugas utamanya, yakni menggoda!
“Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu Surga dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya dan syetan-syetan dibelenggu” (HR Muttafaq ‘Alaih).
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan/potensi) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan memenangkan potensi ketaqwaan dalam jiwanya). Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan memenangkan potensi kefasikan dalam jiwanya)” (QS. Asy-Syams: 7-10).
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf: 53).
”Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yususf: 18).
Bercermin Diri Pasca Ramadhan
Hendaknya kita meraba diri kita masing-masing: bentuk kegembiraan apa yang kita rasakan saat menyambut Idul Fitri? Apakah karena merasa telah terlepas dan terbebas dari bulan penuh beban yang serba mengekang, sehingga Idul Fitri seakan-akan justru menjadi ajang kangen-kangenan dengan syetan – na’udzu billah – yang juga baru saja terlepas dan terbebas dari belenggu dan rantai? Ataukah karena merasa telah bebas makan dan minum kembali semaunya dan sesukanya tanpa dijadwal dan dibatasi lagi seperti saat Ramadhan?
Ataukah gembira dan puas disertai rasa penuh syukur karena merasa telah mendapatkan taufiq dari Allah, sehingga bisa mengoptimalkan pemanfaatan bulan mulia, bulan agung, bulan istimewa, bulan utama dan bulan suci, untuk menggapai kemuliaan, keagungan, keistimewaan, keutamaan, dan kesucian diri?
BACA JUGA: Sambut Bulan Ramadhan dengan Ilmu
”(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kita juga bisa bercermin diri pasca Ramadhan dengan cara melihat sejauh mana perubahan telah kita dapat setelah melewati masa penempaan diri, tazkiyatunnafs (penyucian jiwa) dan tarbiyatudzdzat (pembinaan diri)? Lalu sudahkah ijazah “la’allakum tattaqun” (lihat QS. Al-Baqarah: 183) kita dapat dengan sukses? dengan bukti riil bahwa, kita telah menjadi pribadi-pribadi mukmin yang lebih bertaqwa? Semoga!
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183). []
SUMBER: IKADI.OR.ID