Oleh: Adhe Nuansa Wibisono, S.IP, M.Si
Ketua Majelis Pertimbangan KAMMI Turki
Mahasiswa Doktoral Studi Keamanan Internasional – Polis Akademisi Turki
AKSI terorisme di dua masjid di Christchurch pada Jumat (15/03/2019) menewaskan 50 orang dan melukainya 48 orang lainnya, menjadikannya serangan paling mematikan dalam sejarah modern Selandia Baru.
Aksi teror ini memicu kengerian dan kecemasan di seluruh dunia dan mendorong para pemimpin dunia untuk mengecam kekerasan Islamophobia. Pada hari Jumat, seorang teroris bersenjata memasuki Masjid Al Noor dan melepaskan tembakan dengan senjata otomatis dan menewaskan 42 orang.
Tidak lama kemudian teroris tersebut menuju ke Masjid Linwood dan juga menembaki para korban dan menewaskan 7 orang lainnya. Satu orang korban kemudian meninggal di rumah sakit, sementara 48 orang termasuk wanita dan anak-anak dirawat karena cedera di rumah sakit. Palang Merah Selandia Baru menerbitkan rilis asal negara imigran yang menjadi korban dalam serangan tersebut. Mereka termasuk orang-orang dari Afghanistan, Bangladesh, India, Yordania, Pakistan, Arab Saudi, Somalia, Turki, Malaysia dan Indonesia.
BACA JUGA: Erdogan ke Selandia Baru: Hukum Mati Brenton Tarrant atau Turki yang Bertindak
Video streaming serangan tersebut menyebar ke seluruh dunia melalui media sosial Facebook dan Twitter. Video itu direkam oleh pelaku dan disiarkan langsung, bahkan seluruh serangan tampaknya diatur untuk ditayangkan melalui media sosial. Sebelum aksi teror itu terjadi, sebuah postingan di forum 8chan (forum ilegal terkait ektremis sayap kanan) mempratinjau serangan horor tersebut. Postingan itu terkait dengan manifesto pelaku dan mengarahkan pengguna ke halaman Facebook dan Twitter yang telah disiapkan menyambut aksi teror.
Brenton Tarrant, 28 tahun, warga negara Australia pelaku teror Christchurch, akhirnya ditangkap oleh kepolisian Selandia Baru. Sebelum serangan, Tarrant memposting manifesto “Great Replacement”, istilah yang populer dan menjadi seruan bagi ektremis anti-imigran di Eropa. Di dalamnya, ia mengidentifikasi dirinya sebagai pendukung supremasi kulit putih, fasisme dan anti imigran.
Tarrant mengatakan ingin membalas serangan yang terjadi di Eropa yang dikatakannya dilakukan oleh kelompok Muslim. Pelaku merencanakan serangan Christchurch setekah mengunjungi Eropa pada tahun 2017 dan menjadi marah oleh banyaknya imigran Muslim di sana.
Sementara itu serangan terhadap masjid dan komunitas Muslim di Dunia Barat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data dari Global Terrorism Database di University of Maryland, kawasan Amerika Utara, Eropa dan Oseania telah menyaksikan 128 serangan terhadap komunitas Muslin dari tahun 2010 hingga 2017. Dilansir dari New Zealand Herald, serangan Christchurch merupakan aksi terorisme terburuk dalam 70 tahun terakhir di Selandia Baru. Tragedi pembunuhan massal dengan korban lebih dari 40 orang terakhir kali terjadi dalam kerusuhan massal di penjara Featherston selama Perang Dunia II pada tahun 1943.
Kekhawatiran pelaku terhadap meningkatnya arus imigran Muslim di dunia Barat selaras dengan angka pertumbuhan Muslim di Selandia Baru. Menurut sensus tahun 2013, jumlah Muslim Selandia Baru adalah 46.149 orang. Sekitar 30 persen Muslim lahir di Selandia Baru, sedangkan 70 persen sisanya imigran yang datang dalam 20 tahun terakhir.
Populasi Muslim meningkat enam kali lipat antara tahun 1991 dan 2006, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Imigran Muslim mayoritas datang dari negara-negara Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Indo-Fiji dan Afrika. Populasi Muslim terkonsentrasi terutama di wilayah Auckland, Hamilton, Wellington dan Christchurch.
Terorisme Lone Wolf dan Supremasi Kulit Putih
Scott Stewart dan Fred Burton dalam jurnal Stratfor Global Intelligence mendefinisikan aktor teroris tunggal sebagai teroris lone wolf (serigala tunggal) yaitu aktor soliter yang tidak bekerja sama dengan orang lain. Motivasi mereka bermula dari faktor politik, ideologis dan agama. Jadi seorang teroris lone wolf adalah orang yang bertindak sendiri tanpa perintah atau koneksi ke suatu organisasi.
Teroris lone wolf umumnya memiliki beberapa kesamaan seperti mengisolasi diri dari masyarakat dan memiliki pandangan dunia yang konfliktual, melihat pihak lain sebagai ancaman.
Motivasi serangan umumnya dipicu oleh balas dendam dan harapan untuk memprovokasi perubahan di masyarakat. Balas dendam dapat terinspirasi oleh faktor ideologi, agama, politik dan juga pengalaman pribadi. Manifesto biasanya ditinggalkan untuk menjelaskan motivasi serangan dan membiarkan dunia tahu siapa mereka. Dalam masyarakat modern di mana media sosial dan internet memainkan peran penting, forum online dapat berfungsi sebagai alat di mana teroris lone wolf membagikan pikiran dan mendiskusikan ideologi mereka.
Brenton Tarrant menunjukkan dalam manifestonya bahwa ia terinspirasi oleh Knights Templar, sebuah jaringan teroris pro supremasi kulit putih, yang dipimpin oleh Anders Breivik, yang menewaskan 77 orang dan melukai 158 orang lainnya dalam serangan bom dan penembakan massal di Norwegia pada Juli 2011. Sasaran serangan tersebut adalah perwakilan pemerintah dan anggota Partai Buruh berkuasa yang dianggap memfasilitasi “invasi Muslim” ke Norwegia.
Tarrant juga menyatakan dukungan terhadap tokoh-tokoh ekstremis sayap kanan lainnya seperti Anders Breivik, Dylan Roof, Anton Lundin Pettersson, Darren Osbourne dan Thomas Hegghammer. Teroris tersebut menyebut ide supremasi kulit putih sebagai alasan terdepan dalam pembantaian jamaah Muslim di Christchurch. Ideologi identitas memungkinkan para teroris sayap kanan untuk terhubungan dengan garis panjang ideologi kanan Eropa.
Salah satu narasi sejarah terkuat untuk teroris sayap kanan adalah narasi Perang Salib. Seperti Anders Breivik, Brenton Tarrant menggambarkan dirinya sebagai anggota Knights Templar, sebuah unit khusus dalam Tentara Salib dengan reputasi menakutkan dalam pertempuran melawan Tentara Muslim. Breivik dan Tarrant memandang diri mereka sebagai pejuang modern dalam pertempuran menjaga kemurnian ras kulit putih Eropa yang terancam. Keduanya menganggap imigran Muslim sebagai “penjajah” yang berjuang untuk mendominasi dunia Barat.
Revisi UU Persenjataan
Selandia Baru adalah negara dimana pemilik senjata tidak harus mendaftarkan satuan senjata tetapi hanya mendaftarkan lisensi individunya saja. Dampaknya adalah pemerintah tidak tahu persis berapa banyak senjata api legal atau ilegal yang saat ini beredar di Selandia Baru. Kepolisian memperkirakan jumlah senjata berkisar antara 1,2 juta hingga 3 juta, membuat tingkat kepemilikan senjata per kapita Selandia Baru lebih tinggi daripada Australia dan tertinggi ke-20 di dunia.
Undang-undang Selandia Baru menyatakan siapapun yang berusia di atas 16 tahun dapat memperoleh lisensi senjatadengan memenuhi pemeriksaan latar belakang polisi dan lulus tes. Tetapi jika seseorang ingin mendapatkan senjata semi-otomatis, mereka harus memiliki lisensi Kategori-E.
BACA JUGA: Teroris Brenton Tarrant Beli Senjata secara Online
Pemeriksaan keamanan untuk lisensi ini jauh lebih sulit dan pemohon harus berusia minimal 18 tahun. Brenton Tarrant, hanya memliki lisensi Kategori-A, yang menurut polisi digunakan untuk membeli senjata. Tetapi kelemahan paling fatal dari undang-undang ini adalah senjata standar dapat dimodifikasi secara ilegal menjadi semi-otomatis dan menjadikannya jauh lebih mematikan.
Pasca penangkapan, pelaku teror Christchurch diketahui memiliki lima senjata yaitu dua senjata semi otomatis, dua senjata standar dan satu senjata api pengungkit. Kelemahan undang-undang persenjataan Selandia Baru memberikan celah bagi pelaku teror untuk mendapatkan lisensi senjata dan melakukan modifikasi menjadi senjata semi-otomatis.
Hal paling mendesak yang harus segera dilakukan pemerintahan Selandia Baru adalah melakukan revisi undang-undang persenjataan dan memberikan aturan lisensi kepemilikan senjata yang lebih ketat. Pemerintah harus membatasi jumlah kepemilikan maksimal senjata individu dan mengawasi arus peredaran senjata. Selain itu perlindungan terhadap minoritas Muslim di Selandia Baru dan penguatan integrasi sosial antara elemen masyarakat harus dilakukan.
Solidaritas dan simpati yang ditunjukkan pemerintah dan masyarakat Selandia Baru menunjukkan bahwa pelaku teror telah gagal mendapatkan tujuannya, yaitu terciptanya ketakutan, kebencian dan perpecahan. Alih-alih, insiden ini akan menjadi penanda dasar menguatnya harmonisasi kultural antara Islam dan Selandia Baru. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.