JAKARTA–Tahap Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PHU) telah sampai pada pengambilan keputusan.
Hal itu berlangsung dalam pertemuan antara Kementerian Agama (Kemenag) dan DPR di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Senin (25/3/2019) malam.
BACA JUGA: Sepekan Pertama, 94 Ribu Jemaah Haji Reguler Lunasi BPIH 2019
Kedua belah pihak bersepakat untuk mengajukan RUU ini ke pengadilan paripurna untuk menyiapkan rancangan beleid yang ditetapkan sebagai Undang-Undang. Di dalam rapat itu, Panitia Kerja (Panja) RUU PHU juga mengadakan rapat. Panja ini telah bekerja selama tiga tahun diterbitkan.
Menurut Ketua Komisi VIII DPR-RI Ali Taher, ada hal mendasar yang menjadi landasan pihaknya dalam persetujuan UU Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pertimbangan tersebut, lanjut dia, berdasarkan pada aspek-aspek filosofis, sosiologis, yuridis, dan psikologis politis.
Maka dari itu, RUU PHU merupakan bentuk upaya penataan dan perbaikan manajemen haji dan umrah. Tujuannya, sebut Ali Taher, meminta para calon jamaah haji dan umrah dapat beribadah, aman, dan nyaman.
Dia juga menganggap, mendesain beleid ini mewakili wujud hadirnya negara dalam memberikan pelayanan haji dan umrah yang baik. Apalagi, Indonesia merupakan negara penyalur jamaah haji terbanyak di dunia. Di sisi lain, minat masyarakat untuk beribadah umrah juga semakin meningkat.
Akan tetapi, pelbagai pengalaman membuktikan, dari sisi hukum mengatur terhadap manajemen umrah belum cukup memadai.
BACA JUGA: Visa Progresif Jamaah Haji Ditentukan Data e-Hajj
“Sudah banyak jamaah umrah yang tidak terlayani dengan baik, bahkan banyak yang terlantar. Ini tentu saja menyebabkan buruknya citra pelayanan haji dan umroh itu sendiri, ”pungkas Ali Taher, Senin (25/3) malam.
Dia mengembalikan, isi UU 13 tahun 2008 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum di tengah masyarakat saat itu. Karena itu, perlu adanya perubahan dan pergantian peraturan yang sesuai dengan perkembangan zaman. []