ISLAM datang sebagai suatu agama yang menjaga akan kehormatan dan hak-hak manusia. Salah satu bentuknya, Islam menetapkan hukuman bagi pelaku tindakan jinayah (kriminal) tertentu, diantaranya zina. Ini semua dalam upaya untuk meminimalisir praktek-praktek perzinaan serta membuat efek jera untuk pelakunya agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Jika kita berbicara masalah hukuman bagi pelaku zina, maka syari’at Islam telah memiliki hal itu. Adapun perinciannya, dibagi menjadi dua dilihat dari sisi status pelakunya:
1]. Ghoiru muhshon (bukan muhshon).
Yang dimaksud ghoiru muhshon adalah seorang yang belum pernah melakukan hubungan jimak dalam pernikahan yang sah walaupun sekali. Oleh karena itu, seorang yang pernah menikah akan tetapi belum sempat melakukan hubungan suami istri kemudian cerai lalu dia terjatuh pada perbuatan zina, dihukumi masih “lajang” ( bukan mushshon).
Al-Imam Ath-Thibi Syarafud-din Al-Husain bin Abdullah –rahimahullah– (wafat : 743 H) berkata :
واعلم أن المراد بالبكر من الرجال والنساء من لم يجامع في نكاح صحيح، وهو حر بالغ عاقل
BACA JUGA: Nonton Film Porno Termasuk Perzinahan?
“Ketahuilah ! sesungguhnya yang dimaksud “lajang” dari kalangan laki-laki dan wanita (dalam bab hukuman zina), adalah seorang yang belum pernah berjimak dalam pernikahan yang sah, dan dia seorang yang merdeka dan berakal.” [ Al-Kasyif ‘an Haqoiqis Sunan : 8/2514 ].
Sehingga mengistilahkan “ghoiru muhson” dengan “lajang” saja, ini kurang tepat. Karena tidak meliputi seluruh kondisi.
Hukuman bagi jenis pertama ini, dicambuk sebanyak seratus kali. Sebagaimana dijelaskan oleh Alloh sendiri dalam kitab-Nya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, maka cambuklah salah satu dari keduanya seratus kali cambukan. Dan janganlah kalian merasa kasihan kepada keduanya yang akan menghalangi kamu dari menerapkan hukum Alloh jika kalian orang-orang yang beriman kepada Alloh dan hari kiamat. Hendaknya sekelompok dari orang-orang yang beriman menyaksikan hukuman bagi keduanya.” [ QS. An-Nuur : 2 ].
Al-Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata :
هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ فِيهَا حُكْمُ الزَّانِي فِي الْحَدِّ…فَإِنَّ الزَّانِيَ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِكْرًا وَهُوَ الَّذِي لَمْ يَتَزَوَّجْ…فَأَمَّا إِذَا كَانَ بِكْرًا لَمْ يَتَزَوَّجْ، فَإِنَّ حَدَّهُ مِائَةُ جَلْدَةٍ كَمَا فِي الْآيَةِ
“Di dalam ayat ini, terdapat keterangan tentang hukuman hadd bagi pelaku perzinaan. Dimana pelaku zina, mungkin seorang yang masih lajang, yaitu seorang yang belum pernah menikah….maka jika masih lajang, belum menikah, maka hukumannya dicambuk sebanyak seratus kali sebagaimana dalam ayat di atas.” [ Tafsir Ibnu Katsir : 6/3 ].
Selain dicambuk seratus kali, menurut jumhur ulama’ (mayoritas ulama’), hukumannya ditambah dengan diasingkan dari daerahnya selama satu tahun. Mereka berdalil dengan sebuah riwayat dari Zaid Al-Juhani –radhiallohu ‘anhu– berkata :
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَّهُ أَمَرَ فِيمَنْ زَنَى، وَلَمْ يُحْصَنْ بِجَلْدِ مِائَةٍ، وَتَغْرِيبِ عَامٍ»
“Sesungguhnya beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kepada orang yang berzina yang masih lajang (belum pernah menikah) untuk dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.” [ HR. Al-Bukhari : 2649 dan Muslim : 1697 dan lafadz di atas lafadz Al-Bukhari ].
Al-Imam Ash-Shon’ani –rahimahullah– berkata :
الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ الْحَدِّ عَلَى الزَّانِي غَيْرِ الْمُحْصَنِ مِائَةُ جَلْدَةٍ وَعَلَيْهِ دَلَّ الْقُرْآنُ وَأَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ تَغْرِيبُ عَامٍ وَهُوَ زِيَادَةٌ عَلَى مَا دَلَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ
“Hadits ini sebagai dalil, akan wajibnya hukuman bagi pelaku zina yang bukan muhshon dengan dicambuk seratus kali. Dan sesungguhnya wajib atasnya untuk diasingkan selama satu tahun. Hal ini merupakan tambahan dari apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.” [ Subulus Salam : 2/406 ].
2]. Mushon
Maknanya adalah: Seorang yang pernah melakukan jimak dalam pernikahan yang sah walaupun sekali. Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– :
هُوَ الَّذِي قَدْ وَطِئَ فِي نِكَاحٍ صحيح وهو حر بالغ عاقل
“Dia (muhshon) adalah seorang yang pernah melakukan jimak dalam pernikahan yang sah dalam kondisi merdeka, telah baligh dan berakal.” [ Tafsir Ibnu Katsir : 6/4 ].
BACA JUGA: 3 Cara Taubat dari Dosa Zina
Hukuman bagi jenis keduanya ini dirajam sampai mati. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama’). Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Umar bin Al-Khathab –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
أيها الناس فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا، وَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يُطَولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ قَدْ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، فَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أُحْصِنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوِ الْحَبَلُ أَوْ الِاعْتِرَافُ
“Wahai sekalian manusia ! sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Muhammad –shollallahu ‘alaihi wa sallam- dengan kebenaran. Telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya. Maka di dalam apa yang diturunkan kepadanya, ayat tentang hukum rajam. Kami membaca dan menjaganya. Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melakukan hukum rajam dan kamipun melakukannya setelah beliau. Maka aku khawatir, jika manusia telah melewati zaman yang begitu panjang, akan ada yang mengatakan : “kami tidak mendapatkan ayat rajam di dalam Al-Qur’an.” Maka mereka sesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah Alloh turunkan . Maka hukum rajam merupakan perkara yang hak(benar adanya) dalam Al-Qur’an bagi seorang yang berzina apabila dia muhshon dari laki-laki ataupun wanita apabila telah tegak bukti (empat orang saksi), atau hamil, atau pengakuan.” [ HR. Al-Bukhari : 30 dan Muslim : 25 ].
Ayat tentang hukum rajam yang dimaksud oleh Umar bin Al-Khathab –radhiallohu ‘anhu– berbunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا
“Laki-laki dan perempuan tua (maksudnya : muhshon) apabila mereka berzina, maka hendaknya kalian rajam keduanya.”
Ayat ini, telah dimansukh (dihapus) lafadznya, akan tetapi masih tetap hukumnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah– beliau berkata :
أَنَّهُ مِمَّا نُسِخَتْ تِلَاوَتُهُ وَبَقِيَ حُكْمُهُ
“Sesungguhnya ayat ini termasuk yang telah dihapus bacaannya dan tetap hukumnya.” [ Syarh Shohih Muslim : 11/206 ].
Ahmad bin Hambal, berpendapat bahwa hukuman bagi pezina muhshon digabungkan antara cambuk seratus kali dengan rajam. Adapun Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’), hanya dirajam saja sampai mati, tidak ada tambahan hukum cambuk seratus kali. Dan menurut kami, Ini (pendapat jumhur) merupakan pendapat yang rajih (lebih kuat) dan telah dipilih oleh Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i serta selain mereka.
Karena hadits-hadits yang menunjukkan penerapan hukum rajam yang dilakukan oleh Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam-, tidak ada pengabungan dengan hukum cambuk –sepanjang pengetahuan kami-. Ini yang pertama.
BACA JUGA: Munculnya Anak Hasil Perzinahan, Tanda Apa?
Kedua, beberapa hadits yang menunjukkan pengabungan hukum cambuk dengan rajam bagi pezina muhshon, telah mansukh (telah dihapus). Seperti hadits dari sahabat Ubadah bin Ash-Shamit –radhiallohu ‘anhu– beliau berkata, Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda :
والثيب بالثيب جلد مائة والرجم
“Seorang yang telah menikah (berzina) dengan seorang yang telah menikah dicambuk seratus kali dan dirajam.” [ HR. Muslim : 25 ].
Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Ath-Thibi –rahimahullah– beliau berkata :
وحديث الجمع بين الجلد والرجم منسوخ، لأنه كان في بدء الأمر
“Hadits yang mengabungkan antara cambuk (seratus kali) dan rajam (bagi pezina muhshon) telah dimansukh (dihapus). Karena hal itu terjadi di awal perkara.” [ Al-Kasyif ‘an Haqoiqis Sunan : 8/2514 ].
Demikian tinjauan syari’at dalam hukuman hadd bagi pelaku zina. Dan kita berbicara untuk sebuah negera yang telah menerapkan hukum Islam. Pelaksanaan hukum seperti ini hanya dilakukan oleh negara atau pihak yang telah ditunjuk olehnya dan tidak boleh bagi setiap orang untuk melakukannya sendiri-sendiri.
Jika suatu negara, termasuk negara kita Indonesia belum menerapkannya, maka kita do’akan semoga kelak Allah memudahkan dan memberi hidayah kepada para pemimpin bangsa ini untuk menerapkannya. Karena sebaik-baik hukum, adalah hukum Allah Sang Pencipta alam semesta. []
Facebook: Abdullah Al Jirani