PERLU diketahui terlebih dahulu, bahwa sogok atau suap adalah:
مَا يُعْطَى لإِبْطَال حَقٍّ، أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ
“Sesuatu yang diberikan untuk membatilkan suatu kebenaran atau membenarkan suatu kebatilan”. [ Mausu’ah Kuwaitiyyah : 22/220 ].
Jadi suap/sogok yang haram adalah yang dilakukan untuk mempermulus kebatilan atau menolak kebenaran.
Suap, termasuk dosa besar. Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melaknat seorang yang melakukan suap dan yang disuap. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Amer –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melaknat orang yang menyuap dan disuap” [ HR. At-Tirmidzi : 3/614 dan selainnya. Sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].
BACA JUGA: Orang yang Menyogok maupun Si Penerima Sogok akan Dilaknat
Alloh juga berfirman:
{ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ }
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram”. [ QS. Al-Maidah : 42 ].
Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Sa’id bin Az-Zubair berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “banyak memakan yang haram”, adalah suap.
Bahkan orang yang menjadi perantara terjadinya suap-menyuap pun juga mendapatkan laknat. Sebagaimana dalam suatu riwayat nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersbda:
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ، وَالْمُرْتَشِيَ، وَالرَّائِشَ، وَهُوَ الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
“Alloh telah melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara antara keduanya”. [ Syarh Musykilil Atsar : 13/332, Mustadrok : 7068, Ath-Thobroni dalam “Ad-Dua’” : 2101 dan selainnya ].
Akan tetapi, jika seorang dipersulit, atau sangat sulit, atau bahkan tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan menyuap, maka dalam kondisi seperti ini dibolehkan untuk menyuap menurut pendapat jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ).
Semisal seorang yang ingin melamar menjadi guru. Semua syarat dan kualifikasi telah dia penuhi. Berarti dia punya hak untuk diterima menjadi guru. Kemudian ada oknum yang menyatakan : “kamu berani berapa ?”. Kalau bisa bayar sekian, kamu diterima. Kalau tidak, maka tidak bisa.”
Dari sisi yang menyuap tidak berdosa. Adapun dosanya akan ditanggung oleh pihak “yang minta suap/sogok”.
Hal ini berdasarkan riwayat Umar bin Al-Khaththab:
يَا رَسُولَ اللهِ، سَمِعْتُ فُلَانًا يَقُولُ خَيْرًا، ذَكَرَ أَنَّكَ أَعْطَيْتَهُ دِينَارَيْنِ، قَالَ: ” لَكِنْ فُلَانٌ لَا يَقُولُ ذَلِكَ، وَلَا يُثْنِي بِهِ، لَقَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا بَيْنَ الْعَشَرَةِ إِلَى الْمِائَةِ – أَوْ قَالَ: إِلَى الْمِائَتَيْنِ – وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُنِي الْمَسْأَلَةَ، فَأُعْطِيهَا إِيَّاهُ، فَيَخْرُجُ بِهَا مُتَأَبِّطُهَا، وَمَا هِيَ لَهُمْ إِلَّا نَارٌ “، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلِمَ تُعْطِيهِمْ؟ قَالَ: ” إِنَّهُمْ يَأْبَوْنَ إِلَّا أَنْ يَسْأَلُونِي، وَيَأْبَى اللهُ لِي الْبُخْلَ “
“Wahai Rasulullah, aku mendengar fulan berkata baik, ia menyebutkan bahwa engkau telah memberinya dua dinar, ” beliau bersabda: “Tetapi fulan tidak mengatakan hal itu, dan ia juga tidak memuji karenanya, padahal aku telah memberinya antara hingga seratus, -atau beliau mengatakan, – “hingga dua ratus. Dan sungguh, salah seorang dari mereka ada yang meminta, kemudian aku memberinya, tetapi kemudian mereka keluar dengan menaruhnya di bawah ketiak, padahal itu adalah api baginya, ” Umar berkata; “Wahai Rasulullah, kenapa engkau memberi mereka?” beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka enggan meminta kecuali kepadaku, sedangkan Allah telah menjauhkanku dari kebakhilan.” [ HR. Ahmad : 17/199 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].
Telah disebutkan oleh para ulama’:
أَنَّهُ يَجُوزُ لِلإِْنْسَانِ – عِنْدَ الْجُمْهُورِ – أَنْ يَدْفَعَ رِشْوَةً لِلْحُصُول عَلَى حَقٍّ، أَوْ لِدَفْعِ ظُلْمٍ أَوْ ضَرَرٍ، وَيَكُونُ الإِْثْمُ عَلَى الْمُرْتَشِي دُونَ الرَّاشِي
“Sesungguhnya dibolehkan bagi seorang insan –menurut pendapat jumhur ulama’ – untuk menyerahkan suap dalam rangka menggapai hak ( yang layak dia dapatkan ), atau menolak kedzoliman, atau kemudhorotan. Dan dosa akan ditanggung oleh yang menerima suap bukan yang menyuap”. [ Kasyful Qona’ : 6/316, Nihayatul Muhtaj : 8/243, Tafsir Al-Qurthubi : 6/183 dan selainnya sebagaimana dalam “Mausu’ah Kuwaitiyyah” : 22/222 ].
Imam Abul Laits As-Samarqondi –rohimahullah- berkata:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَدْفَعَ الرَّجُل عَنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ بِالرِّشْوَةِ
“Tidak mengapa seorang membela jiwa dan hartanya dengan menyuap”. [ Tafsir Al-Qurthubi : 6/183 ].
BACA JUGA: Syetan Jenis Manusia, Seperti Apa?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahullah- berkata:
فأما إذا أهدى له هدية ليكف ظلمه عنه أو ليعطيه حقه الواجب كانت هذه الهدية حراما على الآخذ , وجاز للدافع أن يدفعها إليه
“Maka adapun apabila dia diberi hadiah ( maksudnya suap ) untuk mencegah dia melakukan kedzolimannya kepada ( orang yang memberi ) atau agar dia memberikan hak yang wajib ( diterima ) orang yang memberi, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil ( yang disuap ) dan boleh bagi yang menyerahkan untuk menyerahkannya kepadanya”.[ Majmu’ Fatawa : 4/174 ].
Adapun jika seorang -misalnya- tidak memenuhi kualifikasi, kemudian dia diminta membayar untuk diterima sebagai guru lalu dia mau membayar, maka ini suap yang haram. Karena hakikatnya dia tidak berhak menjadi guru, namun karena memakai suap, maka dia diterima. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani