JIKA seorang bermakmum kepada seorang imam yang qunut, hendaknya dia juga ikut qunut, walaupun dia tidak berpendapat akan dianjurkannya qunut. Karena imam dijadikan untuk diikuti.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata:
وَكَذَلِكَ إذَا اقْتَدَى الْمَأْمُومُ بِمَنْ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ أَوْ الْوِتْرِ قَنَتَ مَعَهُ سَوَاءٌ قَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ. وَإِنْ كَانَ لَا يَقْنُتُ لَمْ يَقْنُتْ مَعَهُ. وَلَوْ كَانَ الْإِمَامُ يَرَى اسْتِحْبَابَ شَيْءٍ وَالْمَأْمُومُونَ لَا يَسْتَحِبُّونَهُ فَتَرْكُهُ لِأَجْلِ الِاتِّفَاقِ والائتلاف: كَانَ قَدْ أَحْسَنَ.
“Demikian pula jika seorang bermakmum kepada seorang (imam) yang qunut di sholat Shubuh atau di sholat witir, (hendaknya) dia juga ikut qunut bersamanya, sama saja apakah ia (imam) itu qunut sebelum ruku’ atau setelahnya. Jika (imam) tidak qunut, maka dia (makmum) tidak qunut bersamanya. Walaupun seorang imam berpendapat dianjurkannya sesuatu, dan makmum (berpendapat) tidak dianjurkannya hal itu, maka jika imam meninggalkan hal itu dalam rangka untuk mewujudkan kesepakatan dan kerukunan, sungguh ia telah berbuat baik.”[ Majmu’ Fatawa : 22/268 ].
BACA JUGA: Perintahkan Abu Bakar Menjadi Imam Shalat!
Beliau –rahimahullah- juga berkata:
وَلِهَذَا يَنْبَغِي لِلْمَأْمُومِ أَنْ يَتْبَعَ إمَامَهُ فِيمَا يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ فَإِذَا قَنَتَ قَنَتَ مَعَهُ وَإِنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ لَمْ يَقْنُتْ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: {إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ} وَقَالَ: {لَا تَخْتَلِفُوا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ}
“Oleh karena ini, seyogyanya bagi makmum untuk mengikuti imamnya di dalam perkara yang dibenarkan untuk seorang berijtihad di dalamnya. Maka jika (imam) qunut, makmum qunut bersamanya. Jika (imam) meninggalkan qunut, maka (makmum) tidak qunut. Sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : “Imam itu dijadikan hanyalah untuk diikuti.” Beliau juga bersabda : “Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian.” [ Majmu’ Fatawa : 23/116 ].
Beliau –rahimahullah- juga berkata:
فَإِذَا قَنَتَ لَمْ يَكُنْ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُسَابِقَهُ: فَلَا بُدَّ مِنْ مُتَابَعَتِهِ وَلِهَذَا كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ قَدْ أَنْكَرَ عَلَى عُثْمَانَ التَّرْبِيعَ بِمِنَى ثُمَّ إنَّهُ صَلَّى خَلْفَهُ أَرْبَعًا. فَقِيلَ لَهُ: فِي ذَلِكَ فَقَالَ: الْخِلَافُ شَرٌّ
“Maka apabila (imam) qunut, tidak boleh bagi makmum untuk mendahuluinya. Tidak bisa tidak (harus) untuk mengikutinya. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ud telah mengingkari perbuatan Utsman (bin Affan) yang sholat secara penuh empat rekaat (ketika safar) di Mina. Tapi dia mau sholat di belakangnya empat rekaat. Dikatakan kepadanya tentang hal itu. Maka dia menjawab : Perselisihan itu jelek.” [ Majmu’ Fatawa : 23/116 ].
Saya berkata (Abdullah Al-Jirani):
Pernyataan syaikhul Islam ini menunjukkan beberapa point penting, diantaranya:
1]. Masalah qunut subuh, termasuk salah satu contoh perkara ijtihadiyyah khilafiyyah. Sebuah masalah yang diperselisihkan hukumnya karena terdapat ruang bagi para ulama’ mujtahidin untuk berijtihad di dalamnya.
Ada yang yang berpendapat dianjurkan, karena memandang hadits tentang qunut shohih atau hasan. Ada yang berpendapat tidak dianjurkan, karena menyakini hadits tentang itu dhoif (lemah). Maka hendaknya kita berlapang dada dan saling menghormati dalam masalah seperti ini. Tidak boleh menyesatkan, membid’ahkan, apalagi menvonis orang yang mengamalkannya telah keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipastikan dengan Neraka.
2]. Perkara qunut subuh, merupakan perkara yang hukumnya berputar antara dianjurkan atau tidak dianjurkan. Bukan antara bid’ah dan sunnah. Lihat ungkapan Ibnu Taimiyyah.
3]. Jika kita bermakmum kepada imam yang qunut, hendaknya kita ikut qunut, walaupun kita tidak berpendapat dianjurkannya hal itu. Untuk meminimalisir terjadinya kegaduhan, permusuhan, dan perselisihan. Karena persautan umat ini, lebih besar berlipat-lipat dibanding kita hanya terus mempermasalahkan hal seperti ini.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata ketika ditanya tentang seorang yang bermakmum kepada imam yang qunut:
بل يؤمن على دعاء الإمام ويرفع يديه تبعاً للإمام خوفاً من المخالفة. وقد نص الإمام أحمد – رحمه الله – على أن الرجل إذا ائتم برجل يقنت في صلاة الفجر، فإنه يتابعه ويؤمن على دعائه، مع أن الإمام أحمد – رحمه الله – لا يرى مشروعية القنوت في صلاة الفجر في المشهور عنه
“Bahkan dia mengaminkan do’a imam serta mengangkat kedua tangannya dalam rangka mengikuti imam serta khawatir untuk terjadinya penyelisihan (terhadapnya). Al-Imam Ahmad bin Hambal telah menyatakan, sesungguhnya seorang apabila dia bermakmum kepada seorang imam yang qunut dalam sholat Subuh, maka dia mengikutinya dan mengaminkan do’anya. Padahal imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkan qunut pada sholat Subuh dalam riwayat yang masyhur dari beliau.” [ Majmu’ Wa Rasail : 14/133 ].
BACA JUGA: Begini Kisah Singkat Imam Ahmad
Asy-Syaikh–rahimahullah- juga berkata:
لأن هذا من باب توحيد المسلمين وجمع كلمتهم.وأما حدوث العدواة والبغضاء في مثل هذه الخلافات في أمر يسعه اجتهاد أمة محمد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فإنه لا ينبغي، بل الذي يجب وخصوصاً طالب العلم أن يكون صدره رحباً واسعاً، يسع الخلاف بينه وبين إخوانه، وخصوصاً إذا علم من إخوانه حسن القصد وسلامة الهدف وأنهم لا يريدون إلا الحق
“Karena ini (ikut qunut di belakang imam yang qunut) termasuk dari hal untuk menyatukan muslimin dan mengumpulkan kalimat mereka. Adapun terjadinya permusuhan dan kebencian di dalam masalah khilafiyah seperti ini yang ada ruang ijtihad di dalamnya bagi umat Muhammad –shollallahu ‘alaihi wa sallam-, sungguh perkara yang tidak pantas. Bahkan yang wajib, terkhusus bagi penuntut ilmu, untuk luas dan lapang dadanya dalam hal perbedaan pendapat di antara dia dan saudaranya. Terkhusus, apabila diketahui dari saudaranya adanya niat yang baik dan tujuan yang bagus. Sesungguhnya mereka tidaklah menghendaki kecuali kebenaran.” [ Majmu’ Wa Rasail : 14/130 ].
Facebook: Abdullah Al-Jirani