Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah
PERISTIWA Sumpah Pemuda memasuki usianya yang ke-88. Dari masa ke masa, pemuda adalah aktor sekaligus jargon utama dalam peringatannya. Kalau begitu, bagaimana dengan pemudi? Mungkin masih banyak yang melupakan pemudi. Padahal, peran pemudi bagi kehidupan sosial tak kalah urgen dibanding pemuda.
Bicara pemudi masa kini, tak cukup hanya mengaitkannya dengan emansipasi sebagaimana nafas utama perjuangan Kartini. Bagaimanapun, pendidikan dipercaya sebagai salah satu motor penggerak sosial. Bagi pemudi, pendidikan adalah kunci menuju kehidupan yang lebih baik. Dan sebenarnya pendidikan memiliki cakupan manfaat yang lebih luas. Bukan hanya bagi diri sang pemudi semata, tapi juga mencakup keluarga, komunitas, dan negara.
Tingkat pendidikan pemudi berpengaruh signifikan terhadap kualitas anak, khususnya dari aspek kesehatannya. Sebuah kajian Bank Dunia berjudul Gender Equality and the Millennium Development Goals (2003) menunjukan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka buta huruf ibu berdampak langsung terhadap maraknya gizi buruk akibat rendahnya kualitas pengasuhan bayi dan balita.
Kajian tersebut menunjukan temuan di 25 negara berkembang, dimana perempuan yang tinggal di bangku sekolah satu hingga tiga tahun lebih lama mampu menurunkan 15% angka kematian anak, sedangkan jangka waktu pendidikan yang sama bagi ayah menurunkan hanya 6% angka kematian anak.
Perempuan yang berpendidikan, saat ia menjadi ibu, ia akan paham peran gizi, sanitasi dan higiene yang baik bagi kesehatan dirinya dan anaknya. Pendidikan bagi perempuan juga berdampak langsung terhadap penurunan angka kematian ibu hingga 66% atau sama dengan menyelamatkan nyawa 189.000 ibu.
Pendidikan bagi perempuan berdampak pula terhadap meningkatnya pendidikan anak. Setiap satu tahun penambahan waktu ibu di bangku sekolah berdampak terhadap penambahan 0,32 tahun pendidikan anak (UN Women, 2015). Logikanya perempuan yang berpendidikan, mereka paham pentingnya pendidikan dan saat menjadi ibu ia akan menjadi pendukung utama pendidikan anak-anaknya.
Menjawab tantangan global, kini pemudi dijumpai sebagai sosok perempuan berpendidikan tinggi dan ber-titel. Dengan kata lain, pemudi adalah insan kampus, yang acapkali disebut mahasiswi. Menyandang labelnya, mereka berpotensi memiliki krusialitas energi. Bahkan, sesungguhnya mereka mengemban posisi kunci. Karena mereka-lah yang melahirkan generasi.
Salah satu kekuatan penting dalam komposisi demografi Indonesia adalah penduduk muda. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79%) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21%). Penduduk laki-laki Indonesia sebanyak 119.630.913 jiwa dan perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa. Seks rasio adalah 101, berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
Median umur penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 27,2 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia termasuk kategori menengah (intermediet). Penduduk suatu wilayah dikategorikan penduduk muda bila median umur < 20, penduduk menengah jika median umur 20-30, dan penduduk tua jika median umur >30 tahun.
Namun, sedikit miris kala menilik profil pemudi abad milenium. Menurut mereka, konsekuensi yang harus diraih oleh perempuan modern adalah sukses karir. Mundur selangkah ke belakang, para pemudi mendefinisikan bahwa strata pendidikannya adalah pintu gerbang karir cemerlang. Makin tinggi stratanya, mereka merasa makin memuncaki kesuksesan. Benarkah strata tersebut berkorelasi positif pada kesuksesan? Jadi, cukupkah jika makna terdidik sekedar meraih strata-strata itu? Kesuksesan seperti apa yang mereka tuju sebenarnya?
Lantas, bagaimana dengan peran lain mereka sebagai perempuan yang melahirkan dan mendidik generasi? Yang mungkin, ‘peran lain’ ini seringkali tergadai dan terabai atas dalih aktualisasi gelar dalam memenuhi relevansi zaman. Entah gelar itu berupa ahli madya, sarjana, magister, doktor, atau profesor.
Akibatnya, para pemudi tak jarang sangat kurang siap menjalani peran istri dan ibu. Mereka juga ‘kurang bangga’ menjadi ibu rumah tangga. Tak sedikit yang merasa malu jika punya gelar tapi hanya beraktivitas di rumah untuk mengurus keluarga. Ini diperparah oleh adanya pragmatisme berpikir (apolitis), tumpul karakter kritis dan perubahan, serta budaya permisif dan pergaulan bebas. Hingga tanpa sadar, para pemudi ini terperosok dalam krisis identitas sebagai muslimah.
Sejenak berkaca melalui perkataan Umar bin Khaththab ra, khulafaur rosyidin ke-2. Beliau pernah berkata “Barang siapa ingin menggenggam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya”. Dalam hal ini tentu tidak terkecuali dengan pemudinya. Baik pemuda maupun pemudi, sebagai kalangan berusia muda, maka modal terbesarnya adalah kekuatan fisik yang prima. Modal besar inilah yang diperhitungkan akan mengelevasi kesuksesan dengan percepatan yang bersifat eksponensial.
Kampus memang tempat mencetak generasi unggul. Keunggulan ini nampak pada anugerah akal yang sama-sama Allah anugerahkan kepada pemuda dan pemudi. Melalui sistem pendidikan yan diselenggarakan kampus, akal ini berkembang dan kemudian menjadikan pemudi berkapasitas sebagai pemikir (intelektual). Termasuk untuk berpikir tentang politik. Dimana definisi politik yang dimaksud berupa pengaturan urusan masyarakat. Ini terkait erat dengan potensi pemudi yang berperan besar menjaga peradaban dalam kapasitasnya sebagai intelektual dan ibu generasi.
Jika kemudaan usia pemudi betul-betul berpadu dengan daya intelektualitasnya, pun dengan kekuatan pemikiran ideologis yang unggul dan luhur, ini akan sangat kuat korelasinya dengan kemajuan suatu bangsa. Karenanya, terdapat adagium yang begitu populer “perempuan adalah tiang negara, apabila baik perempuan maka baiklah negara dan apabila rusak perempuan maka rusaklah negara” (ahli hikmah).
Seyogyanya, mari luruskan niat capaian gelar pendidikan dari kampus. Realita menara gading menunjukkan bahwa intelektualitas tidak dimanfaatkan secara riil untuk agregasi sosial dimana masyarakat merupakan objek yang diurus negara. Padahal, agregasi tersebut merupakan ranah bagi intelektual sebagai penyambung lidah dari masyarakat awam kepada penguasa.
Cukup sudah! Pemudi yang juga seorang intelektual ini harus berubah dan menjadi agen perubahan. Kebeliaan dirinya jangan dimaknai sebagai kalangan usia labil. Mereka harus menjadi kalangan dengan paradigma pikir yang berani beda. Memikirkan urusan masyarakat, adalah paradigma mutakhir dalam mewujudkan peradaban cemerlang.
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” demikian nasihat Ali bin Abi Thalib ra kepada para orang tua. Pemudi adalah ibu generasi penerus. Urgennya mendidik generasi terletak pada peran mereka sebagai pengisi peradaban. Di sinilah intelektualitas seorang ibu berperan sentral, yaitu menjadi pisau pengukir rancangan futuristik bagi anak. Mendidik individu anak sebagai pengisi peradaban dan pelaku masa depan, harus dilandaskan pada posisi mereka sebagai makhluk Sang Khaliq. Didiklah generasi sesuai kemauan Allah Swt.
Pun jangan alpa bahwa anak adalah bagian dari masyarakat tempat ia hidup di dalamnya. Rangsang mereka untuk turut memecahkan persoalan kehidupan. Dekatkan dengan perkara-perkara aktual yang butuh solusi sistemik-ideologis. Tentu sembari terus memohon penjagaan Allah Swt bagi mereka. Dengan demikian, percayalah, didikan ibu yang terdidik akan menyokong ketahanan keluarga dalam menyongsong peradaban mulia. إِنْ شآءَ اللّٰهُ.
والله أعلم بالصواب []