KEBRUTALAN sekelompok siswi seolah tak mampu masuk dalam nalar kita. Bayangkan, di Pontianak, 12 siswi SMA mengeroyok Audrey, seorang siswi SMP usia 14 tahun. Korban pengeroyokan menderita karena jadi target penganiayaan oleh sesama perempuan. Kekerasan ini pun beredar.
Setelah melakukan penganiayan itu, para pelaku mengacam korban untuk tak melapor.
BACA JUGA: Gara-gara Cowok, Siswi SMP Dikeroyok Siswi SMA hingga Muntah-muntah
Setelah peristiwa itu, para pelaku sempat tertawa sambil selfie di kantor polisi. Bahkan membuat boomerang unggahannya. Foto ini pun beredar.
Lucu sekaligus mengenaskan, mereka mengancam orang-orang yang mengedarkan berita ini dengan UU ITE. Tapi tetap saja, kisah ancaman ini pun beredar,
Jadi biarlah, para pelaku yang semula ‘lenggang kangkung’ setelah berbuat, mereka yang tak memiliki hati nurani ini kini berpikir, gelisah ketakutan, setelah kabar kebrutalan mereka viral di media.
Hukum dan keadilan memang tak secepat media bertindak. Pada Rabu (10/4/2019) pagi, petisi #justiceForAudrey! Sudah 2.471.714 warganet tanda tangani petisi, dan akan terus bertambah.
Sejatinya, memang para pelaku harus mendapat hukuman.
Kejadian brutal seperti ini bukanlah yang pertama kalinya di republik ini. Parahnya, pandangan pesimis membayangi, bahwa kejadian brutal ini akan terulang lagi, jika masyarakat kita, khususnya dunia pendidikan tak melakukan apapun.
Darurat Pendidikan
Masih lekat dalam ingatan, ketika pak Budi, guru seni di Madura yang meninggal akibat penganiayaan murid. Peristiwa itu terjadi gara-gara pak Budi menegur siswanya karena tidak melakukan pekerjaan rumah. Hanya karena itu.
Menyusul banyak media yang mengabari betapa guru tak seseram dulu lagi. Guru yang di tantang di kelas. Guru yang disawer di kelas. Guru yang tak sengaja menayangkan adegan porno dari laptonya di kelas.
Sebenarnya apa yang salah dengan pendidikan kita?
BACA JUGA: Potret Buram Pendidikan Indonesia
Menyedihkan memang, jika ada batasan status bahaya kerusakan moral, semacam meletusnya gunung api, mungkin kita pada tahap ‘darurat pendidikan.’ Artinya, tindakan lanjut harus segera dilakukan, setelah pemeriksaan, observasi, analisa dan evaluasi, tentu saja.
Tapi bagaimana caranya? Lembaga apa yang bertanggung jawab dan kompeten menanganinya?
Semua pasti sepakat, cara termudah melakukan perbaikan adalah pendidikan dari rumah. Jawaban klise, tapi memang begitulah. Rumah adalah awal dari segalanya. Dan ibu selalu menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Jangan tanya orang tua macam apa yang menjadikan gadis-gadis yang semestinya lemah lembut, gemulai menjadi sebringas itu? Tapi bayangkan jika kita menjadi orang tua mereka, apa yang akan kita lakukan?
Karena melalui lembaga pendidikan dalam keluarga, manusia akan diberi landasan yang kokoh tentang bagaimana ia membentuk dirinya. Bagaimana ia memiliki sikap dan pandangan atas apa yang ditanamkan dalam keluarga.
Melalui kepribadian yang dibentuk dalam keluarga itu, jiwa dan mentalitas manusia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, akan terbentuk dan membekas dalam kehidupan manusia. Coba kita bayangkan, bagaimana kita sejak kecil dibentuk oleh orang tua. Itulah kita hari ini.