Siang tadi, salah seorang guru yang saya ta’zhimi mengirimkan sebuah gambar yang membuat hari penanda berkurangnya umur saya ini terasa begitu membahagiakan.
Ya, tataplah sejenak. Mufti Agung Kerajaan Saudi Arabia, Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdillah Alusy Syaikh duduk berdampingan dan berbincang mesra dengan Fadhilatusy Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradlawy, Hafizhahumallahu Ta’ala.
Duhai, alangkah agung syi’ar ini. “Perbedaan yang dapat dihitung takkan membatalkan kesamaan yang tak terbilang. Perbedaan cabang takkan menafikan kesatuan pada akar dan batang.”
Kita lalu teringat adegan indah dalam Sirah itu. Dua orang faqih dari kalangan sahabat, ‘Abdullah ibn ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit, Radhiyallahu ‘Anhuma, berbeda pendapat dalam banyak masalah. Salah satunya soal faraidh atau penghitungan waris.
Menurut Ibn ‘Abbas, sebagaimana bagian cucu sama dengan bagian anak ketika dia tiada, maka bagian kakek sama dengan ayah kala dia tiada, dan adanya kakek menghijab hak saudara. Tidak demikian menurut Zaid. Bagi penulis wahyu kebanggaan orang-orang Anshar ini, kakek berkedudukan sama dengan saudara.
“Aku berani bermubahalah dengan Zaid”, ujar Ibn ‘Abbas suatu ketika. ”Bagaimana mungkin dia bedakan bagian kakek dengan ayah, tapi tetap samakan bagian anak dengan cucu?”
Tapi ketika ada kerabat Ibn ‘Abbas meninggal dan muncul persoalan waris yang harus diselesaikan dengan memilih pendapatnya atau pendapat si faqih Anshar; beliau justru mengundang Zaid untuk dimintai fatwa dalam menyelesaikannya. Sebab dia tahu, si mayyit selama hidupnya lebih sering hadir di majelis Zaid dibanding majelisnya.
Zaid pun datang. Setelah mendengar penuturan dari keluarga tentang susunan para Ahli waris, beliau memutuskan perhitungannya menurut pendapat Ibn ‘Abbas, bukan pendapatnya, sebab beliau tahu orang ini berkerabat dekat dengan Faqihnya ummat itu.
Ketika Zaid pamit, Ibn ‘Abbas bergegas menjajari tunggangan Zaid dan menuntun baghal sang Mufti kota Nabi sembari berjalan kaki. Penuh ta’zhim beliau bermaksud mengantar Zaid hingga ke rumahnya. Zaid pun merasa tak enak hati.
“Tak usah begitu duhai putra Paman Rasulillah ﷺ” ujarnya, “Aku malu jika engkau yang menuntun kendaraanku!”
“Beginilah kami diperintahkan”, ujar Ibn ‘Abbas sambil tersenyum, “Untuk memuliakan para ‘ulama kami.”
“Kalau begitu”, tukas Zaid, “Perlihatkanlah tanganmu duhai sepupu Rasulillah ﷺ!”
Maka Ibn ‘Abbas pun menunjukkan tangannya dan segeralah Zaid mencium serta mengecupnya dengan penuh pemuliaan. Ibn ‘Abbas amat terkejut atas perlakuan ini dan menegur Zaid, “Apa ini wahai sahabat Rasulillah ﷺ? Apa ini wahai penulis Al Quran dan faqihnya kaum Anshar?”
Maka Zaid tersenyum. “Beginilah kami diperintahkan, jelasnya, “Untuk memuliakan keluarga dan Ahli Bait Rasulillah ﷺ.” []