Oleh: Hilwa Syauqillah
Santriwati asal Magelang, Jawa Tengah
SETELAH banyak mengobrol dengan gadis-gadis yang belum menemukan pasangannya, ada beberapa kesimpulan yang terangkum dalam ingatan.
Salah satunya adalah: “Jika seorang perempuan telah menemukan jodohnya, maka selesai sudah urusan memikirkan masa depan.”
Opini di atas menunjukkan kurangnya pemikiran mengenai tanggung jawab yang harus dipikul dalam rumah tangga, seakan-akan pernikahan hanya soal romansa.
BACA JUGA: Mengaku Masih Gadis Ketika Menikah, Apakah Sah Nikahnya?
Padahal amanah setelah memiliki ‘cahaya mata’ bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Sebab seberapa berhasilnya seorang anak menjadi hamba yang shalih tergantung pada seberapa shalihah ibunya.
Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan oleh K.H Maimoen Zubair yang merupakan Ulama sepuh pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
“Seberapa shalihnya seorang anak bergantung pada seberapa shalihah ibunya.”
Al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Hadhramaut, Yaman. Pengarang kitab Sullam Taufik. Ibunda beliau Syarifah Syaikhoh binti Abdullah bin Yahya, adalah seorang yang amat berpengaruh dalam kehidupan beliau, pendidik sejati yang benar-benar mempersiapkan putranya menjadi seorang shalihin.
Beliau dengan segala kesungguhannya mendidik sang putra untuk selalu istiqomah pada jalan para salafussholeh serta selalu mengingatkan putranya untuk menjauh dari jalan maksiat.
BACA JUGA: Undian di Pernikahan al Makmun
Apakah seorang perempuan yang di dalam dirinya tiada ilmu dan iman yang tinggi mampu mendidik putranya sedemikian rupa? Sungguh hanya perempuan shalihah yang mampu untuk berbuat sedemikian rupa.
Masih banyak lagi kisah lain dari ibunda para shalihin dari tanah Hadhramaut ataupun belahan bumi lain yang patut untuk dijadikan teladan bagi perempuan pada umumnya.
Lantas sudahkah kita merasa cukup dengan menganggap masa depan sebatas sampai pernikahan? Puaskah imajinasi perjalanan hidup kita hanya sampai pada penemuan pasangan hidup?
Sedangkan romansa sebatas itu belum tentu memberi manfaat bagi akhirat kita, sedangkan pendidikan anak akan menjadi tanggung jawab kita di hadapan Rabb kita kelak.
Tidak bijak rasanya kalau kita lebih sibuk memikirkan pernikahan daripada memikirkan bagaimana menjadi ibu yang dapat dibanggakan oleh putra-putrinya di hadapan Rabb-nya kelak.
Oleh sebab itu alangkah baiknya sebelum memikirkan romansa, kita sibuk siapkan diri untuk menjadi madrasah utama bagi anak-anak kita. Ketaatan kita sebagai pengetahuan agama bagi mereka, ilmu pengetahuan sebagai jalan langkah mereka menapaki dunia, serta akhlak yang baik sebagai pendidikan kasih sayang bagi mereka. []