JIKA fajar shadiq telah tiba dengan ditandai dengan adzan Shalat Subuh, sedangkan di dalam mulut kita ada makanan, maka hendaknya kita muntahkan kemudian hendaknya sempurnakan puasanya. Jika seorang dengan sengaja menelannya dalam kondisi dia tahu secara pasti bahwa fajar telah muncul, maka puasanya batal. Ini merupakan perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan ulama’.
Dasarnya sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
إنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari (adzan pertama), maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan (adzan kedua atau adzan untuk shalat Subuh)”.[ HR. Al-Bukhari dan Muslim ].
BACA JUGA: Jawab Azan Dulu atau Buka Puasa Dulu?
Adapun hadits nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang berbunyi :
«إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ»
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dalam kondisi bejana (air minum) ada di tangannya, jangan diletakkan sampai dia menunaikan hajatnya darinya (meminumnya)”. [HR. Abu Dawud : 2350 dan selainnya. ]
Hadits ini telah dihasankan oleh Imam Al-Haitsami dalam “Majma’ Az-Zawaid” : 3/200. Hadits ini mengandung banyak kemungkinan. Sedangkan hadits larangan makan dan minum setelah fajar shadiq muncul cuma mengandung satu kemungkinan yang sangat jelas. Maka ada suatu kaidah :
النص مقدم على الظاهر
“Dalil yang mengandung satu kemungkinan, didahulukan dari dalil yang mengandung beberapa kemungkinan”.
Larangan makan dan minum setelah fajar tiba sangat jelas. Oleh karena itu, hadits yang seolah membolehkan keduanya setelah fajar, harus dicarikan beberapa kemungkinan lain sebagai bentuk jalan kompromi.
Imam An-Nawawi –rahimahullah- menukil dari Imam Al-Baihaqi –rahimahullah- berkata :
وَهَذَا إنْ صَحَّ مَحْمُولٌ عِنْدَ عَوَامِّ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِمَ أَنَّهُ يُنَادَى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِحَيْثُ يَقَعُ شُرْبُهُ قُبَيْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ قَالَ …أَوْ يَكُونَ خبرا عن الْأَذَانِ الثَّانِي
Jika hadits ini shahih, maka menurut mayoritas ulama’ dibawa kepada kemungkinan (1)bahwa “adzan” yang dimaksud pada hadits tersebut dikumandangkan sebelum fajar shadiq, dimana perintah nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk meminumnya, terjadi mendekati fajar shadiq, (bukan “adzan” untuk shalat Subuh)… (2) Atau, yang dimaksud “adzan” di dalam hadits itu adalah “adzan pertama”, bukan “adzan kedua” (sebagai tanda masuknya shalat Subuh)”. [ Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/311-312 ].
Menurut Imam Al-Khathabi –rahimahullah- (w. 388 H), itu untuk seorang yang masih ragu tentang kemunculan fajar shadiq dikarenakan sesuatu dan lain hal, seperti cuaca mendung, atau karena sebab-sebab yang lain. Namun jika telas sampai ilmu kepadanya secara pasti akan datangnya fajar shadiq, maka dia wajib untuk menahan diri dari makan dan minum. Beliau berkata :
معناه أن يسمع الأذان وهو يشك في الصبح
“Maknanya (hadits di atas), seorang mendengar adzan dalam kondisi dia ragu di dalam waktu Subuh”. [ Ma’alimus Sunan : 2/106 ].
BACA JUGA: Buka Puasa dengan Es Puding Buah, Segar!
Dengan demikian, maka hadits tentang larangan makan dan minum setelah adzan Subuh, yang ditandai dengan munculnya fajar shadiq, tidak bertentangan dengan hadits riwayat Abu Dawud yang sekilas membolehkan makan dan minum saat adzan subuh telah dikumandangkan.
Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata :
وإذا أمكن الجمع بينها والعمل بها كلها وجب ذلك ، ولم يجز دعوى النسخ معهُ ، وهذه قاعدة مطردة
“Jika memungkinkan untuk mengkompromikan-nya (dua dalil yang sekilas bertentangan) dan mengamalkan keduanya, maka hal itu wajib ditempuh. Tidak boleh untuk mendaku adanya pemansukhan (penghapusan hukum) bersamaa adanya kemungkian untuk menjamak. Dan ini merupakan kaidah yang pasti”.[ Fathul Bari : 5/84 ]. []
Facebook: Abdullah Al Jirani