Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Anggota Revowriter Sidoarjo
rutyuyun@gmail.com
BEPERGIAN bagi setiap orang adalah hal yang tak terelakkan. Ada banyak hajat yang melatarbelakanginya, tak sekedar silahturahmi, bertemu saudara di hari raya. Sebagaimana Allah menciptakan manusia berbeda untuk saling mengenal. Dan salah satu wasilah untuk saling mengenal adalah bepergian. Allah berfirman yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)
Dan kalau berbicara safar, pasti kita berbicara hal diluar kebiasaan. Yang tidak kita temui sebagaimana di rumah. Nyaman atau tidak itu relatif, tergantung pengaturan dan teknologi. Seperti misalnya toliet.
Banyak fasilitas umum, bahkan masjid yang toiletnya tak layak. Begitu juga dengan tempat berwudu. Padahal, dalam Islam, toilet tak sekedar berbicara tentang buat hajat. Namun ada syariat yang dituntut Allah untuk diterapkan. Seperti pemisahan pria dan wanita, jumlah dan kualitas air, sanitasi dan ventilasi sekaligus bagaimana rupa toilet begitulah rupa aklak pengguna dan penyedia. Suka kebersihan ataukah tidak.
Dan sekarang, toilet bukan sekedar fasilitas umum yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat luas. Namun berubah menjadi ajang bisnis. Banyak pengusaha baru yang bermunculan karena toilet. Buang hajat berbayar atau berinfak jadi semacam hitam di atas putih, aturan yang lumrah. Padahal toiletnyapun terkadang tidak memadai, seadanya dan asal-asalan. Namun ada pula yang berteknologi canggih namun hanya tersedia di tempat-tempat tertentu seperti hotel, gedung pertemuan dan mall. Tentu yang mengakses hanya orang-orang tertentu pula.
Bagaimana dalam Islam? kamar mandi umum atau hammam dalam sejarah peradaban Islam pada abad pertengahan, memiliki fungsi vital. Elizabet Williams, dalam History of Hammams, menulis kamar mandi tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemandian, tetapi juga memasyarakatkan hidup sehat dan higienis. Sebagian masyarakat kala itu, juga menggunakan kamar mandi sebagai lokasi pertemuan untuk bersosialisasi.
Pada periode Dinasti Umayyah (661-750 M), para khalifah membangun pemandian pribadi di istana megah mereka dengan konsep dan desain yang istimewa. Bukan hanya ukuran ruangan yang besar, melainkan juga pola dekorasi yang unik dengan warna-warnai lantai dan hiasan pernak-pernik yang menawan, seperti yang terlihat dari Istana Amra di Yordania.
Hilal al-Sabi mencatat, pada abad pertengahan pemandian umum menjadi bagian penting dalam komunitas masyarakat dan sebagian besarnya dibangun dengan kualitas yang sedemikian rupa.
Sejumlah sejarawan mendeskripsikan letak pemandian itu berdampingan dengan sekolah, taman, dan masjid dengan tata letak yang sangat apik.
Di Baghdad, ketika itu terdapat 60 ribu pemandian umum. Gaya dan dekorasi tersebut juga tetap dipertahankan pada masa kepemimpinan Ottoman, dengan sejumlah inovasi dan teknologi pendukung.
Di tangan pengelolaan yang tepat, masalah toilet bukan perkara sepele. Namun ia bagian dari hajat hidup orang banyak, terlebih bagi musafir yang ingin menyelesaikan urusannya, namun jauh dari negeri asalnya. Wallahu a’ lam. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.