Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustad yang kami hormati,
Saya dan teman-teman sempat berdiskusi hebat di kampus kami. Permasalahannya mengenai fenomena wanita yang menambahkan nama suami di belakang namanya. Kami juga sempat bertanya kepada dosen kami, dan jawabannya adalah dilarang karena dalam Islam menisbatkan nama adalah ke ayah. Demikian pula saya melihat di dunia maya banyak bermunculan masalah ini dan menjadi pro dan kontra. Mohon penjelasan ustad.
Syukran katrsira
Wassalam
Salimah Hayati
Jakarta
SAUDARIKU, memang menjadi fenomena umum di masyarakat kita, bahkan di dunia lain bahwa wanita jika sudah menikah maka namanya disandingkan dengan nama suami. Kita juga memperhatikan banyak ibu-ibu pejabat atau di perumahan yang dipanggil justru dengan nama suaminya, misal jadi ibu Asep, ibu Ahmad, dll. Barangkali secara tersirat bermakna sebagai tanda bahwa wanita itu telah menikah, telah punya suami.
Memang masalah ini menjadi muncul karena sandingan nama suami atas nama istri terkesan mengubah dari adanya hubungan darah. Maka ada yang mempermasalahkan, bahwa mestinya penyandingan nama itu dengan nama ayah, sebagaimana lazimnya dalam tradisi Arab atau Islam dengan nisbah “bin” atau “binti”. Misal, Ahmad bin Sulaiman (Ahmad putra Sulaiman), atau Fatimah binti Muhammad (Fatimah putri Muhammad).
Namun perlu diperhatikan, sejatinya dalam Islam penyematan identitas bersifat lapang dan fleksibel dan dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Dalam sejarah pun kita dapat melihat ragam nama dengan nisbah tidak kepada ayah. Seperti ada yang menggunakan penyandingan dengan identitas status sosial, Ikrimah maula Ibnu Abbas (Ikrimah pelayan Ibnu Abbas), dengan pekerjaan, Muhammad al-Ghazzali (Muhammad tukang tenun), bahkan ada pula yang dinisbatkan kepada ibunya meskipun nama ayahnya diketahui, seperti Ismail ibnu Ulayyah Ismail anak ibu Ulayyah).
Dan jika kita perhatikan al-Qur’an, ada legitimasi dibolehkan menisbahkan dengan dasar adanya hubungan pernikahan, seperti disebutkan dalam surah at-Tahrim ayat 10 dan 11, Allah pengunakan penyebutan nama dengan sandingan nama suami, “imra`atu Nuh (istrinya nabi Nuh dan imra`atu Luth (istrinya nabi Luth), “imra`atu Fir’aun” (istrinya Fir’aun).
Adapun dalil yang digunakan sebagai dasar bagi yang mempermasalahkan bahkan sampai mengharamkan penambahan nama istri kepada nama suami, yaitu hadits, “Siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah.” (HR. Muslim dan Tirmidzi) Juga hadits senada, “Siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.” (HR. Bukhari dan Abu Daud). Tentang hadits-hadits tersebut dan hadits-hadits lain yang senada para ulama memahami sebagai diharamkannya penisbatan kepada bukan ayah sebenarnya, bukan ayah secara nasab, atau ayah palsu.
Pasalnya, selain sebagai bentuk kedurhakaan kepada orangtua, juga dapat merusak ketentuan hak dan kewajiban dalam beberapa aturan syariat, seperti waris, pernikahan, dan lain-lain.
Namun untuk identitas atau pengenal dan dengan tetap adanya pengakuan ayah secara nasab, demikian dalam aturan hukum tetap menggunakan nama ayah tentu tidak layak sampai ada pengharaman. Terlebih jika kita perhatikan hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri, bahwa suatu ketika Zainab istri Abdullah bin Mas’ud datang kepada Rasulullah saw dan meminta izin untuk bertemu. Lalu ada salah seorang yang ada di dalam rumah berkata, “Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu.” “Zainab siapa?” tanya Rasul. “Istri Ibnu Mas’ud.” Lalu beliau berkata, “Ya, persilahkan dia masuk.” (HR. Bukhari). Pada hadits ini kita perhatikan penyebutan Zainab Ibnu Mas’ud di hadapan Rasul, dan beliau tidak melarangnya.
Oleh karena itu yang dilarang dalam Islam adalah menisbatkan diri atau menyandingkan nama kepada orang yang bukan ayahnya dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai legitimasi anak, seperti kata: anak, bin, binti dan lain sebagainya. Misal Malik bin Sulaiman, padahal ayahnya adalah Ibrahim dan sang anak mengetahui hakikatnya. Jadi yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau penyebutan identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahpahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam.
Dapat kita simpulkan, sebagaimana juga dikuatkan oleh dewan fatwa Mesir, bahwa adanya nisbat atau penambahan nama dengan nama suami sejatinya tidaklah menafikan hubungan darah atau nasab dengan ayah. Ia tiada lain merupakan penjelas identitas. Di samping itu, perlu menempatkan problematika dengan bijak, karena larangan yang tersebut adalah bila tidak mau mengakui ayah secara nasab atau menisbatkan kepada bukan ayah sebenarnya. Namun tentu lebih baik dan lebih harus diperjuangkan untuk menciptakan kebiasaan menyandingkan nama kita, juga wanita kepada ayah, dengan menyebut bin atau binti. Demikian pula perlu dibuat regulasi pada ketentuan pemerintah, khususnya terkait penyebutan identitas harus dengan sandingan nama ayah. Sementara ini kita ketahui penyebutan bin atau binti yang teregulasi hanya pada proses pernikahan. Wallahu ‘alam. []