SEORANG anak yang tumbuh tanpa sang ayah, pastilah ia iri melihat anak-anak seusianya yang masih memiliki ayah dan ibu. Pastilah ia ingin tahu rasanya digendong ayah seperti anak-anak lain. Barangkali seperti itulah yang terjadi dengan salah seorang sahabat Rasulullah bernama Dzu al-Bajadain. Ayahnya telah meninggal saat ia masih dalam kandungan. Al-Bajadain tumbuh sebagai yatim yang tak mewarisi apa pun dari ayahnya yang miskin. Ibunya pun miskin. Al-Bajadain kemudian dirawat oleh sang paman.
Tempaan hidup itu menjadikan al-Bajadain pemuda yang mandiri, tangguh, dan berpendirian teguh.
Ketika mendengar ajaran Rasulullah, al-Bajadain berniat memeluk Islam. Namun, ia urung karena mempertimbangkan perasaan sang paman, orang yang berjasa membesarkannya. Ia akan memeluk Islam jika sang paman lebih dulu memeluknya.
BACA JUGA: Inilah Keunggulan Para Sahabat Nabi
Al-Bajadain menanti-nanti pamannya memeluk Islam. Namun, hari demi hari al-Bajadain tak melihat tanda-tanda pamannya akan memeluk Islam. Ia pun memberanikan diri menghadapnya.
“Pamanku,” kata al-Bajadain, “sebenarnya selama ini aku menanti paman memeluk Islam. Tapi, sepertinya paman tidak akan melakukannya. Pamanku, aku sangat ingin memeluk Islam. Aku harap paman mengizinkanku.”
Sang paman tidak bisa menerima pilihan al-Bajadain. Ia marah. “Jika kau mengikuti agama Muhammad, aku tidak akan menyisakan apa pun untukmu. Dan kau harus mengembalikan semua yang telah kuberi, termasuk pakaian yang kaukenakan itu.”
“Kalau paman berkehendak demikian, silakan ambil semua yang paman inginkan.Aku tetap dengan pilihanku. Aku akan memeluk agama Muhammad. Dan meninggalkan berhala.”
Sang paman benar-benar melaksanakan ucapannya. Ia mengambil semua yang dimiliki al-Bajadain termasuk pakaiannya. Al-Bajadain menangis, bukan karena semua yang dimilikinya diminta kembali oleh sang paman, melainkan sedih karena paman yang ia cintai tak memeluk Islam.
Al-Bajadain kemudian menemui ibunya. Sang ibu lalu memberikan kain yang telah dipotong menjadi dua. Satunya untuk dijadikan baju, satunya lagi untuk sarung.
Al-Bajadain kemudian pergi ke Madinah. Sampai di Madinah, ia langsung menuju Masjid Nabawi untuk bermalam di sana. Seusai pelaksanaan shalat subuh, Rasulullah melihat ada pemuda asing. “Kau siapa, Anak Muda?” tanya Rasulullah.
“Namaku Abdul Uzza,” jawabnya.
Abdul Uzza yang berarti hamba berhala. Nama itu tidak mungkin digunakan terus-menerus setelah masuk Islam. Sehingga Rasulullah Saw. mengganti nama itu, “Mulai saat ini namamu kuubah menjadi ‘Dzu al-Bajadain’.”
Dzu al-Bajadain pun memeluk Islam. Ia kemudian menjadi sahabat yang paling banyak membaca Al-Quran.
BACA JUGA: Ini 12 Ciri Sahabat Sejati Menurut Imam Ghazali
Al-Bajadain ikut serta dalam Perang Tabuk. Ia meminta Rasulullah mendoakannya agar menjadi syahid dalam perang itu. Rasulullah pun memegang tangan al-Bajadain, dan berdoa “Ya Allah! Aku mengharamkan darah al-Bajadain dari orang-orang kafir.”
“Bukan itu yang kuminta, wahai Rasulullah.”
Rasulullah kemudian berkata, “jika kau terkena panah dan kau meninggal dunia, atau musuh memenggal lehermu, kau akan mendapatkan kesyahidan.”
Perang Tabuk pecah. Al-Bajadain mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia terbunuh sebagai syahid dalam perang itu. Ia terbunuh sebagai syahid dalam perang itu. Rasulullah hadir dalam pemakaman al-Bajadain, dan berdoa, “Ya Allah! Aku telah meridai al-Bajadain. Maka, ridailah ia” []
Sumber: Ketika Rasul Bangun Kesiangan/ Penulis: Muslich Taman/ Penerbit Zaman/ 2010