Oleh: Abdillah Musthafha
Mahasiswa STAI DR KHEZ Muttaqien Fakultas Dakwah, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
PERTENGAHAN 2019, penghujung kepemimpinan Doktor Haji Manpan Drajat, M.Ag sebagai ketua di STAI DR KHEZ Muttaqien, kampus bagi seribu kurang mahasiswa dari Purwakarta dan sekitarnya itu sudah dikelola olehnya selama dua periode.
Pengalamannya menjadi dosen sejak 2001 menjadi salah satu modal dasar Pak Manpan untuk mengelola kampus tersebut menjadi lebih besar dan berkembang lagi. Bahkan, ia mengatakan, dirinya pernah melanglang buana menjadi dosen dari Cirebon hingga Bogor.
Rupanya, modal besar dalam kepemimpinannya adalah kepercayaan dari pihak pembangun (yayasan) lembaga, sehingga tak ada sekat untuk menerjunkan dan mengaktualisasikan diri dalam pusaran pembuat kebijakan di kampus itu. “Pengelolaan dan manajemen betul-betul dipercayakan kepada ketua STAI, sehingga saya leluasa,” kata dosen kelahiran 1975 itu.
BACA JUGA: Awal Kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
Ya, lebih dari soal jabatan dan pangkat ketua. Kepemimpinan adalah menyoal karakter dan “pengaruh-memengaruhi” serta nilai diri.
Sementara itu, posisi merupakan wadah untuk mengaktualisasikan nilai itu. Karakter diri dan kepemimpinan Pak Manpan selama 10 tahun pasti cukup menancap di STAI sendiri.
Pak Manpan: Low Profile
Surya Hadi Darma, seorang dosen, wakil ketua bidang kemahasiswaan sekaligus mahasiswa (alumni kampus) yang pernah menimba ilmu dari Pak Manpan, menilai bahwa Pak Manpan adalah sosok yang low profile, tidak “neko-neko.”
“Sikapnya low profile,” kata Surya yang sedang menempuh studi doktoral itu, “Yang tetap merangkul, baik sesama dosen, terhadap pegawai, wakilnya dan mahasiswa. Kepiawaiannya itu yang membentuknya sukses membangun kebersamaan di kampus.”
Wakil Ketua bidang kemahasiswaan itu pun memosisikan Pak Manpan sebagai orang kedua yang punya semangat melakukan perubahan, setelah ketua STAI sebelumnya almarhum Dr H Anang Abdul Razak. Mulai dari perubahan tata kelola, pembangunan dan sama-sama punya sikap low profile, tidak neko-neko dan merangkul.
Kolektif-kolegial, itu kata Pak Manpan berbicara soal style kepemimpinan yang “dianut”nya. Ia sendiri menyebutkan, setiap keputusan dan kebijakan yang dibuatnya berasal dari pendapat semua orang yang perlu diambil pendapatnya, dari pihak pengelola kampus hingga mahasiswa.
Namun, adanya sikap terbuka terhadap semua masukan orang lain itu tak membuat dirinya tidak punya pendirian. Saat prinsip dan kebenaran dengan ukuran valid, rasional sudah menjadi pegangan dalam keputusan, Pak Manpan akan tetap teguh. “Meskipun itu ditolak, saya akan tetap neugtreug,” kata pria kelahiran Sukabumi itu.
Sikap low profile, tidak memperlihatkan pangkat posisi, anti-kemapanan, cepat adaptasi dan hierarki posisi dengan semua pihak adalah modal lain dari Pak Manpan untuk menyatukan dan membangun kampusnya. Itulah style kepemimpinannya. Ia bilang, dirinya berbaur saja bersama mahasiswa, tanpa menjaga image status dosen atau ketua. “Itu sebagai hubungan dengan sesama manusia,” tandasnya.
Namun, Pak Manpan menyadari—meskipun tetap dalam batas norma—gaya kepemimpinannya bisa menjadi salah satu kelemahannya, “Saya tidak bisa mengendalikan atau lepas kontrol bahwa saya adalah seorang ketua STAI, meskipun itu bukan hal buruk dan biasa bagi saya.”
Soal kedekatannya dengan banyak pihak, terkhusus bagi orang yang berada di bawah posisinya sebagai ketua ternyata disebut masih dalam batas wajar di mata mahasiswa, tersenyum saat bertegur sapa dan tidak sok kenal sok dekat, “Kalau kedeketan dengan mahasiswa tidak juga,” kata Presiden Mahasiswa, Cecep Imron.
BACA JUGA: 2019 Indonesia Membutuhkan Kurikulum Kepemimpinan
Sekilas menyoal manajerial dan kharismatik
Kharismatik, satu dari macam-macam tipe atau corak kepemimpinan yang cukup bersinar dalam khazanah kepemimpinan. Kharismatik memang yang paling mendekati kepada makna kepemimpinan itu sendiri, yakni soal karakter dan pengaruh.
Seorang yang berpengaruh, mampu memengaruhi dan menggerakkan adalah orang yang berkharisma—walaupun ukurannya relatif. Pak Manpan menganggap kharismatik sebagai given atau anugerah, “Ada yang berkharisma karena kepintarannya, karena kekayaannya, kesholehannya, keamalannya, ketegasannya atau gen, tergantung dari orang tersebut pada aspek mana,” ujarnya.
Namun, kharisma dari seseorang bukanlah satu-satunya penunjang bagi optimalnya suatu kepemimpinan. Kharisma saja tidak cukup. Manajerial dan pengetahuan atau kompetensi tentangnya merupakan keniscayaan untuk dimiliki seorang pemimpin.
“Tidak menjamin akan bagus pengelolaannya, karena manajerial itu sangat bergantung pada ilmu. Kharisma tidak cukup, dia harus punya kompetensi manajerial untuk memimpin,” ujar penulis buku ‘Berguru pada Murid, karena Akhlaq & Ilmu’ yang baru launching itu. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.