Oleh: Abdul Rachman, M.H.I
Penghulu KUA Kec. Lubuklinggau Utara II Kota Lubuklinggau
DI antara dua belas bulan dalam setahun, ada bulan-bulan tertentu dalam kalender Jawa yang dimaknai secara khusus. Ada korelasi antara waktu, peristiwa dan pemaknaan. Masyarakat seperti mengikatnya dalam bentuk tradisi dan budaya, bertahun-tahun, turun-temurun.
Pemaknaan secara sosio-kultur dengan menganggap sebagai penanda berkah terjadi pada bulan Sura (Muharam), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awal), Rejep/Rajab, Sya’ban, dan Puasa (Ramadhan). Sebaliknya pada bulan Kapit (Dzulaqa’dah) ditandai sebagai bulan buruk atau balak yang harus dimaknai sebagai kewaspadaan.
Pemaknaan terhadap bulan-bulan tertentu sangat mungkin memiliki latar belakang momentum agama (Islam) atau kepercayaan tertentu. Bulan Sura berlatar peristiwa padang Karbala, bulan Mulud berlatar Maulid Nabi Muhammad SAW, bulan Rejep/Rajab berlatar Isra’ Mi’raj, sedangkan bulan Puasa berlatar perintah shaum dan peristiwa Nuzulul Qur’an.
BACA JUGA: 5 Macam Kebahagiaan Menikah
Peristiwa di balik waktu, bagi masyarakat adalah berkah tersendiri. Memaknai bulan adalah sebuah berkah yang banyak memberi hikmah dan amanah. Bukan hanya bulan yang dianggap baik, juga ada bulan yang dianggap akan membawa bala dan membawa kesialan. Diantaranya bulan Dzulkaidah atau disebut biasa disebut dengan apit.
Di kalangan mayoritas masyarakat muslim di Indonesia khususnya di Jawa terdapat tradisi larangan melaksanakan akad nikah pada bulan di antara dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, atau lebih populer dikenal dengan sebutan bulan apit/kapit.
Secara bahasa ‘kapit’ berasal dari kata hafidz yang dalam bahasa arab berarti menjaga atau memelihara. Yang dimaksud di sini adalah menjaga atau memelihara kesucian bulan ini dari peperangan atau larangan lainnya. Karena di dalam al-Qur’an apit/dzulqa’dah termasuk Syahrul Haram, bulan suci dan mulia, selain dari bulan Rajab, Dzulhijah, dan Muharram.
Ada berbagai alasan disebutkan bahwa yang menikah di bulan apit maka ia akan mengalami seret rizki, dan akan terjadi perceraian. Pelarangan ini hampir-hampir telah dimaknai sebagai sebuah keharaman. Artinya, pelarangan yang pada mulanya berada di ranah kebudayaan (tradisi) bergeser ke ranah agama (syar’i). Benarkah menikah pada bulan apit dilarang dalam Islam?
Islam sebagai ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia (QS. Ar- Rum: 30) mengerti benar akan kebutuhan manusia. Sebagai makhluk hidup manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya, umpamanya binatang, dalam hal menyalurkan kebutuhan seksnya. Binatang mungkin membutuhkan seks sepanjang waktu namun tidak dapat melakukannya tiap kali kebutuhan itu muncul.
Mereka perlu menunggu betinanya untuk birahi terlebih dahulu. Sementara manusia dapat melakukannya kapanpun ia butuh. Sehingga terkesan menyalahi fitrah jika terdapat aturan yang melarang manusia untuk melakukan hubungan badan (jima’) dalam rentang waktu lama.
Larangan melakukan hubungan badan pada waktu-waktu tertentu memang ditemukan dalam Islam. Misalnya pada siang hari Bulan Ramadhan (QS. al-baqarah:187). Di luar larangan berhubungan badan dalam waktu tertentu tersebut terdapat pula satu larangan menikah ketika sedang ihram yang bersumber dari hadits shahih: “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”(HR. Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Utsman Bin Affan).
Akan tetapi keharaman melaksanakan akad nikah dalam hadits ini tidak menyangkut harinya melainkan keadaan berihram itu sendiri. Sehingga selama tidak melaksanakan ihram, baik dalam ibadah haji maupun umrah, seseorang tidak dilarang untuk menikah meskipun pada hari tasyri’, hari raya dan lain sebagainya.
BACA JUGA: Ssst, Hal-hal Ini Bisa Merusak Pernikahan
Semua hari dipandang baik dalam Islam. Imam Malik mengatakan, “janganlah kalian menjauhi sebagian hari di dunia ini. Tatkala hendak melakukan sebagian pekerjaan, kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan itu pada hari apapun dengan sesukamu. Sebab sebenarnya hari-hari itu semuanya milik Allah, tidak akan menimbulkan malapetaka dan tidak pula bisa membawa manfaat apapun.”
Hari-hari dalam bulan apit adalah hari-hari yang baik. Menikah pada bulan apit tidak akan membuat rezeki seret. Justru pernikahan adalah media untuk memperoleh rezeki (QS. an- Nur: 31). Karena rezeki telah ditentukan oleh Allah (QS. asy- Syuura: 27), selama manusia tersebut berusaha untuk memperolehnya. Firman Allah menjelaskan:
“Dan nikahilah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu baik yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (rizki-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Tidak tepat pula alasan bahwa jika pernikahan dilangsungkan pada bulan apit akan berujung pada perceraian. Perceraian lebih sering terjadi karena masing-masing pihak, baik suami maupun isteri, lalai terhadap kewajibannya. Sepanjang pasangan suami/istri menjalankan kewajibannya dan fokus kepada tujuan perkawinan, hampir-hampir sebuah keniscayaan perceraian akan menerpa sebuah sebuah rumah tangga.
Begitu pula dirasa kurang tepat jika alasan larangan menikah pada bulan apit sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang berangkat menunaikan ibadah haji pada bulan itu. Melaksanakan haji adalah ibadah, karena menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 menyebutkan bahwa Menikah merupakan ibadah. Tidak ada satu ibadah pun yang lebih penting dari ibadah lain sehingga ketika salah satu ditunaikan oleh seseorang maka orang lain harus menghentikan ibadah yang lainnya.
Pada prinsipnya larangan menikah di bulan apit yang dilakukan oleh masyarakat jawa hanyalah sebuah tradisi, sedangkan apabila ditinjau dari perspektif syar’i maka pernikahan dapat dilakukan kapan saja, tidak ada larangan pada hari-hari tertentu. Maka larangan menikah di bulan apit hanyalah sebuah tradisi dan tidak ada hubungannya dengan syar’i. []
SUMBER: SUMSEL.KEMENAG.GO.ID