KATA manhaj, secara bahasa bermakna metode/cara. Adapun secara istilah, adalah sebuah metode yang berisi kumpulan kaidah-kaidah dan batasan-batasan untuk memahami agama (baca : dalil) dengan benar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Metode ini telah ada sejak zaman Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, walaupun sebatas pemahaman yang ada dibenak para sahabat. Kemudian hal ini diwariskan kepada generasi setelahnya dan seterusnya.
Setiap orang, atau kelompok, atau organisasi yang berada dilingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sudah barang tentu memiliki “manhaj” (metode memahami agama) yang sama. Karena manhaj yang benar, akan secara otomatis menjadikan orang yang menjalaninya sebagai seorang ahlus sunnah/salafy (walapun tidak sibuk menyatakan diri sebagai seorang sunni atau salafy). Manhaj yang salah, otomatis akan menjadikan orang yang menjalaninya keluar dari Ahlus Sunah.
BACA JUGA: Cara Berdakwah Rasulullah
Manhaj yang sama, terkadang menghasilkan hukum yang berbeda. Hal ini sangat mungkin terjadi dalam masalah furu’iyyah (cabang agama), baik dalam hal aqidah ataupun fiqh. Sehingga persamaan manhaj, tidak mengharuskan persamaan mutlak 100% dalam seluruh permasalahan agama. Contohnya dalam masalah qunut subuh. Sebagian ulama’ memandang disyari’atkan, dan sebagian lagi berpendapat tidak disyari’atkan. Keduanya memiliki manhaj yang sama, namun berbeda pendapat dalam menghukumi masalah ini. perbedaan ini tidaklah mengeluarkan mereka semua (baik yang pro dan kontra) dari lingkup Ahlus Sunnah.
Namun, saat ini kata “manhaj” telah mengalami pergeseran makna. Manhaj dipahami oleh segelintir orang (baca : oknum) dengan makna “afiliasi” dan “loyalitas”. Orang yang afiliasi komunitas pengajiannya sama, ustadznya sama, serta loyal kepada komunitas tersebut, maka dikatakan “semanhaj”. Adapun orang yang beda pengajian, atau beda ustadznya, atau minimal tidak loyal kepada komunitas tertentu, maka dihukumi “beda manhaj”.
BACA JUGA: Perbedaan Pendapat Itu Rahmat
Bagi ‘mereka’, orang yang berbeda pendapatnya dengan “komunitas kami” atau “ustadz kami”, maka dihukumi “beda manhaj”, walaupun perbedaan tersebut hanya dalam masalah furu’iyyah (cabang agama). Oleh karena itu, jangan heran kalau ada dari ‘mereka’ yang menyatakan bahwa Muhammadiyyah bukan termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Menurut hemat kami, cara memahami kata “manhaj” dengan makna-makna seperti ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Sehingga harus diluruskan dan didudukkan sebagaimana mestinya. Jika tidak, maka hanya akan menyeret pelakunya ke dalam lembah hizbiyyah dan mengotori manhaj salaf itu sendiri. Wallahu’ musta’an wa ilaihi tuklan.
Facebook: Abdullah Al-Jirani