SEBUAH komunitas dakwah yang dididik dengan metode tarjih (menguatkan salah satu pendapat dari beberapa pendapat yang ada) tanpa diiringi dengan pembekalan pengetahuan tentang khilafiyyah dan adab-adabnya yang memadahi, cenderung akan menganggap pendapat yang mereka rajihkan (kuatkan) sebagai kebenaran mutlak yang bersifat yaqini, dan pendapat yang marjuh (yang mereka lemahkan) sebagai kebatilan.
Dengan pendapatnya, mereka merasa sebagai satu-satunya kelompok yang berada di atas kebenaran dan yang menyelisihi mereka dianggap sebagai kelompok sesat. Komunitas seperti ini sangat sulit untuk diajak diskusi. Karena orang di luar kelompoknya dianggap sebagai ahli syubhat yang wajib dijauhi dengan dalih “Hati itu lemah sedangkan syubhat menyambar-nyambar”.
BACA JUGA: Meniru Metode Dakwah Rasulullah Saw
Kondisi yang memprihatinkan ini sangat besar kemungkinan dipicu oleh kesalahan metode tarbiyah yang diterapkan oleh para ustadz yang mengajari mereka. Oleh karenanya, jika akan memperbaiki komunitas ini, pertama kali yang harus diperbaiki adalah ustadznya. ‘Kenakalan’ sebuah komunitas dakwah, tidak mungkin lepas dari pengaruh para pendidiknya.
Perbedaan pendapat tentang masalah boleh tidaknya ikut nyoblos dalam pemilu belakangan ini, sebagai salah satu bukti nyata pemaparan di atas. Bahkan lebih parah lagi. Karena “penyesatan” yang ada, terjadi diantara mereka yang masih di dalam satu komunitas dakwah.
BACA JUGA: Cara Berdakwah Rasulullah
Lebih miris lagi, para murid kelas Durusul Lughah jilid satu begitu pede menyesatkan gurunya yang telah belajar sepuluh tahun lamanya di hadapan para ulama sampai mencapai gelar doktor. Wallahul musta’an wa ilahi tuklan.
Teriring do’a, “semoga mereka segera mendapatkan hidayah sunnah”. Amin ya Rabb.
Facebook: Abdullah Al-Jirani