DENGAN beberapa keistimewaan yang dimiliki, Aisyah menjadi yang paling diperhitungkan dari semua istri Nabi. Ia satu-satunya istri yang perawan, ayahnya adalah satu-satunya orang yang menemani beliau bersembunyi di dalam gua Tsur. Lebih dari itu, ia merasa parasnya lebih jelita dan keduduk-annya di sisi Nabi lebih istimewa. Ini terlihat dari perlakuan beliau yang lembut dan mesra kepada dirinya.
Dijulukinya ia Humayrah, nisbah untuk kulitnya yang seperti bunga; putih kemerah-merahan. Julukan yang melambangkan kecantikannya dan betapa Nabi terpesona olehnya. Aisyah sangat menyukai julukan ini. “Ambil sebagian agama kalian dari Humayarah ini,” sabda beliau suatu ketika. Karena itu, tak segan-segan Aisyah menolak Nabi dalam suatu urusan dunia yang tidak sejalan dengan kemauannya. Bahkan, sampai urusan agama, yang tidak ada ketetapan nasnya dari Allah. Aisyah pun berani mendebat beliau. Atau, kadang Nabi sendiri yang minta pertimbangannya. Kadang, ia merasa sangat terpukul atau marah dengan kejadian yang menurut Nabi baik, tetapi menurutnya tidak. Sampai suatu ketika terlontar dari mulutnya kata-kata, “Menurutku Tuhanmu hanya menyeriusi keinginanmu.”
BACA JUGA: Aisyah Menangis saat Diberi Makan Ini oleh Abdurrahman bin Auf
Kata-kata pedas dan tajam, tetapi Nabi merasa tak perlu memberi tanggapan. Dibiarkannya Aisyah berkata begitu, tetapi beliau catat untuk diingatkan kelak pada situasi yang tepat.
Tetapi, Aisyah tidak bicara sembarangan dan tanpa alasan. Argumentasinya kuat, hanya kadang melampaui Batas. Sesuatu yang bukan membuat Nabi senang, malah membuat beliau marah. Ini biasanya terjadi saat Aisyah tak mampu mengendalikan diri, lupa kalau ia berada di rumah sang Nabi. Atau ketika hatinya termakan naluri kewanitaannya, cemburu ia kepada madunya yang saling bersaing merebut hati Nabi. Aisyah merasa selalu memenangkan persaingan. Sebab, semua istri Nabi yang lain adalah janda. Hanya ia yang pe-rawan saat dikawini Nabi. Dan ini membuat Aisyah merasa di atas angin. Merasa hanya dirinya istri beliau yang asli dan nomor satu, sedangkan yang lain nomor dua dan palsu. Sebab, mereka dikawini Nabi hanya karena tujuan atau faktor politik, agama, senioritas, simpati, dan perintah syarak. Secara konfrontatif, ini ditegaskan langsung di hadapan Nabi. Aisyah berkata sambil membuang muka, “Aku, wahai Rasulullah, tidak seperti seorang pun dari istri-istrimu yang lain. Tanpa kecuali, mereka telah pernah dipeluk laki-laki, kecuali aku.”
Nabi paham ke mana arah pembicaraan ini dan apa makna di belakangnya. Tetapi, beliau bergeming, tak bereaksi. Beliau hanya tersenyum, iba betapa ia tak berdaya. Mungkin, hal serupa berputar ulang di lain waktu dengan cara berbeda. Berkata Aisyah jauh hari setelah itu, “Wahai Rasulullah, jika engkau turun ke sebuah lembah, di situ ada dua pohon, yang satu sudah dimakan ternak, yang satu lagi tidak, lalu di pohon yang mana untamu akan kau gembalakan?”
“Di pohon yang tidak digembalai ternak,” jawab Nabi ”
“Akulah itu!” tegas Aisyah.
Tentu saja, jalan pikiran Aisyah di atas tidak sejalan dengan pikiran Nabi. Beliau juga tak memberinya lebih dari batas yang harus diterimanya. Sebab, tak mungkin gara-gara itu beliau lalu memperlakukan istri-istri yang lain secara tak adil. Maka, tak diberinya Aisyah hak istimewa di atas hak yang lain. Semua diperlakukan sama oleh Nabi. Ketika tebersit di hatinya kecenderungan kuat pada Aisyah, cepat-cepat Nabi mengendalikan diri dan berjuang menundukkannya. Bila tidak berhasil, dan hatinya tetap dikuasai wajah Aisyah, buru-buru beliau merunduk sambil mengangkat tangan, merendahkan diri di hadapan Tuhan. “Ya Allah, inilah pembagian yang mampu kulakukan, maka jangan siksa aku dalam hal yang tak mampu kulakukan,” demikian lantunan bait doa beliau.
Di mata Nabi, kecemburuan Aisyah adalah hal wajar yang bisa ditoleransi. Seolah beliau melihat, itu adalah te-kanan naluriah yang menjelma hawa nafsu. Tekanan yang berada di luar batas kemampuan manusiawi. Karena itu, tak layak ia dihukum atau diberi sanksi. Bahkan, Nabi menilai kecemburuan Aisyah itu adalah bukti kalau ia tak bisa hidup tanpa beliau. Nabi jadi kasihan padanya dan tak henti membujuknya dengan halus. Maka diterimanya letupan kewanitaan itu dengan lapang sekali waktu, dengan umpatan di waktu lain, atau dengan sikap masa bodoh.
BACA JUGA: Ukhti, Ini Tips Miliki Tubuh Ideal seperti Aisyah, Istri Rasulullah
Tetapi, bila kecemburuan Aisyah kelewat batas, Nabi tak tinggal diam. Pernah sekali waktu, saking cemburunya kepada Shafiyyah bint Huyay Aisyah berkata kepada Nabi mengungkap aibnya, “Cukuplah padamu kalau Shafiyyah itu hanyalah perempuan kerdil.”
Mendengar celaan itu Nabi marah. Amarahnya tak terbendung seraya bersabda, “Tutup mulutmu, Aisyah! Kau telah melontarkan kata-kata yang seandainya diaduk dengan air taut, niscaya ia akan ternoda.”
Nabi ingin agar Aisyah bersikap lembut dan ramah, tidak keras, dan tidak menuruti hawa nafsu. Beliau bersabda, “Aisyah, Allah itu Maharamah dan menyukai keramahan. Bila keramahan tercerabut dari sesuatu, ia akan membuatnya aib dan hina. Sebaliknya, jika diletakkan di atas sesuatu, ia akan menghiasinya. Karena itu, kamu harus bersikap ramah!” []
Sumber: Bilik-bilik Cinta Muhammad/ NizarAbazhah/ Zaman/ Jakarta, 2015