MASYARAKAT yang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing akan mempengaruhi rendahnya sikap sosial dikehidupan perkotaan maupun pedesaan. Sikap tidak mau tahu, individualistis, seakan merebak khususnya di daerah perkotaan. Bukankah Islam memerintah untuk bersilaturahim? Lalu bagaimana solusi untuk masyarakat yang individualistis?
Sejak abad 14 silam, Islam telah menawarkan penegakkan silaturahim melalui seruan shalat berjamaah. Urgensi pelaksanaan shalat berjamaah ditandai dengan penghargaan agama terhadap hukumnya, yakni sunah muakad. Ibnu Umar ra meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendirian.” (HR.Bukhori dan Muslim).
Perintah shalat berjamaah dan keutamaannya yang biasa dilaksanakan lima kali setiap hari, sesungguhnya menggugah partisipasi dan kebersamaan umat Islam dalam menguatkan sistem dan modal sosial, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dimana pertemuan, jalinan koumunikasi, kebersamaan dan keterlibatan secara langsung seorang Muslim dengan sesama akan berjalan dengan baik.
Pelaksanaan shalat berjamaah di mushala atau masjid, bukan sekedar mendapat pahala semata. Namun, Rasul hendak mengajarkan pentingnya persatuan, kebersamaan, saling mengenal, bertgur sapa, saling memahami keberadaan satu sama lain. Sehingga, dapat menjamin dan mempertahankan sistem sosial di masyarakat dan penguatan modal sosial. Munculnya kepercayaan satu sama lain sangat berguna dalam mengikis munculnya problematika sosial dan mencegah sikap amoral.
Dalam shalat berjamaah, di satu sisi seorang Muslim diajarkan kepemimpinan saat menjadi imam. Sementara itu, disisi lain, berlatih menjadi rakyat dan siap dipimpin ketika menjadi makmum. Begitu besar nilai pahala, nilai sosial di dalamnya. Suatu saat, Rasulullah melihat seseorang mengajarkan shalat sendirian, maka Beliau Bersabda, “Andai saja ada seseorang yang bersedekah kepada orang lain, yaitu dengan melakukan shalat bersamanya….”
Seruan shalat berjamaah tidak hanya pada kaum laki-laki, melainkan juga pada kaum perempuan. Aisyah ra sering menjadi imam bagi kaum perempuan dan berdiri bersaama mereka dalam satu barisan shaff. Begitu halnya dengan Ummu Salamah, bahkan Rasul memerintahkannya menjadi imam bagi penghuni rumahnya pada saat mengerjakan shalat-shalat fardhu.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah melarang para perempuan pergi ke masjid-masjid Allah. Jika mereka mereka datang ke masjid, hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Semoga shalat berjamaah menjadi budaya positif, dan meumbuhkan kepercayaan antar sesama sebagai modal sosial yang bias menjadi solusi bagi kemiskinan jiwa dan harta pada umat Islam.