ALKISAH di masa lalu terdapat tiga orang Mukmin yang pribadinya amat saleh. Mereka berasal dari golongan bani Israil yang amat patuh dan taat pada perintah Allah. Mereka menjauhi larangan-Nya dan takut terhadap azab. Mereka mementingkan keridhaan Allah ketimbang kenikmatan dunia.
Suatu hari, tiga orang tersebut melakukan perjalanan. Hingga di tengah perjalanan, ketiganya didera hujan deras. Mereka pun kemudian berlari dan berlindung di sebuah goa di kaki gunung. Namun, saat ketiganya telah berada di dalam goa, tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dan menutup pintu goa. Paniklah ketiganya. Batu tersebut amat besar dan berat hingga sulit dipindahkan. Mereka tak akan mampu keluar kecuali dengan pertolongan Allah.
Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Pikirkanlah amalan saleh yang pernah kalian kerjakan karena Allah. Kemudian, berdoalah kepada Allah dengan amalan saleh tersebut. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kita,” ujarnya kepada dua temannya.
Maka mulailah mereka berpikir dan mengingat amalan kebajikan apa yang pernah mereka lakukan dengan niat tulus kepada Allah. Segeralah mereka bertawasul dengan amalan mereka. Mereka menjadikan amalan sebagai perantara dikabulkannya doa.
Orang saleh pertama bertawasul dengan amalan baktinya kepada orang tua. Ia merupakan seorang penggembala miskin yang berkewajiban menafkahi kedua orang tua, istri, dan anak-anak yang masih kecil. Setiap pulang menggembala, ia memerah susu untuk diberikan kepada keluarganya tersebut.
Setiap hari, ia melakukannya secara rutin dengan memberikan susu kepada kedua orang tuanya lebih dahulu, baru kemudian anak dan istrinya.
Suatu hari, ternak si penggembala berlari jauh dari tempat merumput biasa. Akibatnya, ia pulang ke rumah setelah matahari terbenam. Seperti biasa, ia memeras susu dari ternaknya. Namun, ketika tiba di rumah, orang tuanya telah tertidur lelap.
Bukan memberikan kepada anaknya, si penggembala justru menunggu orang tuanya terbangun, sementara anak-anaknya menangis meminta susu tersebut karena lapar. “Aku tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum kedua orang tuaku meminumnya,” ujar si penggembala.
Ia terus menunggu dengan perasaan iba kepada anaknya hingga fajar menyingsing. “Seperti itulah kondisiku dan anak-anakku hingga terbit fajar. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena Engkau, karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah dari batu ini satu celah untuk kami agar dapat melihat langit,” pintanya kepada Allah. Akhirnya, di batu yang menutup rapat pintu goa itu terbuka sebuah celah.
Kemudian giliran orang kedua. Ia pun memanjatkan kedua tangannya seraya berkata, “Sesungguhnya aku memiliki sepupu wanita yang amat aku cintai. Aku mencintainya layaknya pria mencintai seorang wanita. Aku memintanya melayaniku, tapi ia menolak. Aku pun mengumpulkan uang seratus dinar dengan susah payah. Setelah terkumpul, kuberikan pada gadis itu. Namun, setelah aku berada di hadapannya (untuk bermaksiat), gadis itu berkata, ‘Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah.
Jangan kau buka tutup (renggut keperawananku) kecuali dengan haknya.’ Mendengarnya, aku segera bangkit meninggalkannya. Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya karena-Mu, karena mengharap wajah-Mu, karena takut siksa-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu celah dari batu ini,” pintanya. Maka, makin terbukalah celah batu tersebut dari mulut goa.
Tibalah giliran pria saleh ketiga. Ia bertawasul dengan perbuatannya yang mendahulukan hak orang lain. Ia berhati-hati mengambil harta orang lain tanpa hak. Suatu hari, ia pernah menyewa seorang buruh dengan upah seharga satu faraq beras atau sekitar 30 kilogram. Namun, setelah bekerja, si buruh tak mengambil upahnya. Maka pria saleh itu pun mengembangkan harta tersebut hingga ia mampu membeli ternak sapi dari upah yang dijadikan modal tersebut.
Lalu datanglah si buruh meminta haknya. Namun, upah tersebut sudah berkembang menjadi harta yang lebih banyak. Si majikan justru memberikan seluruh harta yang dikembangkan dari upah tersebut. Padahal, dialah yang mengembangkan harta itu dan hak si buruh hanyalah hak awal seharga satu faraq beras.
“Aku berikan kepada buruh itu semua harta yang aku kembangkan. Jikalau aku mau, tentu tidak aku berikan kepadanya kecuali upahnya saja. Akhirnya, dia (si buruh) membawa sapi dan penggembalanya, lalu pergi. Kalau Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena Engkau, karena mengharap wajah-Mu, karena mengharap rahmat-Mu, maka bukakanlah untuk kami apa yang tersisa dari batu itu,” pinta si pria ketiga, sang majikan yang murah hati tersebut.
Maka, Allah pun membukakan seluruh bagian batu penutup pintu goa. Mulut goa pun kini dapat dilalui ketiganya. Para hamba Allah yang saleh itu pun keluar dengan wajah gembira dan penuh syukur. Kisah tiga pria saleh tersebut pernah dikisahkan oleh Rasulullah Muhammad SAW kepada para sahabat.
Sumber: Republika, Selasa (28/3/2017).