Oleh: Nirwana Fitria, nirwanafitriach@yahoo.com
“Berbuat baik”
Apakah ada yang salah dengan kata-kata itu? Sepertinya tidak ada yang salah.
Justru kata-kata itu berkesan positif. Dan seperti manusia pada umumnya, saya pun berusaha menerapkan kata-kata itu dalam kehidupan sehari-hari.
Awalnya saya bahagia karena merasa bahwa saya telah berhasil “berbuat baik” Karena telah banyak berbuat kebaikan, meskipun mungkin kebaikan kecil.
Tapi, seiring berjalannya waktu. Saya mendapati ada hal yang mengganjal di hati ini. Saya mencoba mencari tahu apa itu. Hingga suatu ketika saya menyadari 1 hal. Bahwa ada luka samar di dalam hati saya.
Luka itu tidak begitu jelas penyebabnya. Ketika sebabnya saja tidak saya ketahui. Lantas, bagaimana caranya saya bisa menyembuhkan luka samar itu?
Saya pun teringat dengan kalimat seseorang yang entah mengapa masih membekas dalam ingatan saya.
“Jadi orang itu jangan terlalu baik, sedang-sedang saja. Dan supaya seimbang harus ada jahatnya juga,” kurang lebih seperti itulah kalimat yang disampaikan oleh seseorang dengan nada sedikit bercanda.
Awalnya saya kurang paham dengan maksud kalimat tersebut.
Karena saya berfikiran bahwa manusia memang harus berbuat baik, tidak masalah juga kalau terlalu baik, dan tidak boleh berbuat jahat.
Lalu, apa hubungannya berbuat baik, luka samar dan kalimat seseorang tersebut?
Akhirnya saya mencoba menarik kesimpulan. Mungkin saya selama ini menerapkan konsep “berbuat baik” ke semua orang. Sampai lupa bahwa tidak semua orang bisa dan mau menghargai kebaikan itu.
Mungkin juga karena keseringan menerapkan konsep “berbuat baik”, saya akhirnya jadi terkesan “terlalu baik” lalu dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak tahu caranya menghargai. Kesimpulan itu berdasarkan logika saya.
Tapi, kemudian hati saya juga menarik kesimpulan sendiri. Bukankah ketika niat saya berbuat baik itu semata-mata karena Allah. Maka seharusnya tidak perlu ada luka samar dalam hati saya?
Kalau akhirnya tidak ada satu orang pun yang menghargai kebaikan saya. Bukankah Allah sudah melihat semuanya?
Saya sebenarnya sudah menemukan jawaban. Hanya saja terkadang bahkan mungkin seringkali, logika saya mendominasi hati saya.
Dan saya pun termenung lantas bersyukur.
“Alhamdulillah. Sekeras apapun logika saya mencari kesimpulan, ternyata hati saya masih bersedia ikut melengkapi kesimpulan itu. Karena salah satu hal yang saya takutkan adalah ketika hati sudah tidak lagi digunakan atau ikut serta dalam menyimpulkan sesuatu, maka pasti akan sulit menemukan ketenangan di tengah kebingungan merenungi berbagai hal dalam hidup, salah satunya tentang berbuat baik.”
Dan saya juga percaya akan janji Allah yang tertulis indah dalam kitab suci Al-Qur’an. Bahkan banyak ayat yang didalamnya tertulis jelas bahwa tidak ada kebaikan yang sia-sia. Seperti dalam Surah Hud ayat 115:
Artinya: “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.” []
Kendari, 31 Desember 2015