PADA permulaan Islam, tepatnya pada zaman sahabat, sambil diniatkan I’tikaf, orang-orang berkumpul di sekitar ka’bah. Mereka saling berbicara tentang kebaikan.
Suatu hari, ada tiga orang yang berdebat mengenai orang yang paling dermawan di antara kaum Muslimin.
Orang pertama berkata, “Manusia paling pemurah adalah Abdullah bin Ja’far.”
Orang kedua berkata, “Manusia paling pemurah adalah Abdullah bin Ja’far.”
Orang ketiga berkata, “Tidak bisa, manusia paling pemurah adalah Arabah Al-Ausi.”
Tiga orang itu berselisih sengit. Suara mereka meninggi. Orang pertama kembali mengatakan dengan suara yang tegas, “Abdullah bin Ja’far paling pemurah!”
Orang yang kedua membantah, “Tidak bisa, Arabah Al-Ausi lebih pemurah!”
Orang ketiga tidak terima, “Tak bisa disangkal, banyak orang mengatakan Qaish bin Sa’ad manusia paling pemurah!”
Perdebatan mereka bertiga menarik perhatian banyak orang. Akhirnya, ratusan orang mengelilingi mereka bertiga. Orang-orang itu ingin mengetahui apa yang mereka perdebatkan.
Setelah tahu duduk persoalannya, mereka memberi saran, “Sebaiknya, kalian temui satu persatu orang yang kalian anggap paling pemurah itu. Ujilah mereka. Setelah itu, kembalilah ke sini. Beritahukanlah apa yang kalian saksikan, biar kami yang memutuskan siapa yang paling pemurah.”
Saran itu disetujui oleh ketiga lelaki itu.
***
Lelaki pertama pergi ke rumah Abdullah bin Ja’far. Dia bertemu Abdullah di depan rumahnya. Saat itu, Abdullah sedang bersiap hendak menunggang untanya dan pergi ke kebunnya.
Lelaki pertama berkata kepada Abdullah, “Wahai anak paman Rasulullah, aku seorang Ibnu Sabil, aku tidak mempunyai keluarga.”
Seketika itu, Abdullah bin Ja’far turun dari untanya dan berkata, “Naiklah unta ini. Ia menjadi milikmu. Ambilah kantong dan isinya yang ada di punggung unta itu. Ambil pula pedang ini. Ini adalah pedang Ali bin Abi Thalib.” []
BERSAMBUNG