KALIAN siap menikah? Atau akan menikah? Di bawah ini ada 8 persiapan yang dilakukan sebelum Anda memutuskan untuk siap menikah.
1 Mencari restu orang tua
Apa jadinya jika menikah tanpa restu orang tua? Pasti sangat tidak nyaman bukan?
Jangan sepelekan restu orang tua ya. Karena dengan restu orang tua pernikahan akan berjalan lancar, langgeng, bahagia serta berkah. Ingat menikah bukan hanya menyatukan dua insan manusia yang saling mencintai tapi juga menyatukan dua keluarga sekaligus.
BACA JUGA: Bulan yang Baik untuk Menikah Menurut Islam (1)
Yang terpenting, mencari ridha orang tua inilah yang mendatangkan Allah ridha. Sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi, no. 1899; Ibnu Hibban, 2:172; Al-Hakim, 4:151-152; hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Jadi saat ini untuk persiapan, berusahalah mendapatkan restu orang tua sebelum menikah. Kalau belum direstui, terus melobi dengan cara yang baik dan jangan lupa untuk terus berdoa kepada Allah.
2 Siap dibatasi
Menikah mau tak mau harus siap kehilangan kebebasan yang sebelumnya bisa dinikmati saat gadis. Yang sudah menikah tak bisa lagi seenaknya nongkrong di mall dengan teman-teman tanpa sepengetahuan pasangannya. Istri tak bisa seenaknya jalan keluar tanpa seizin suami.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 32:281)
Meski terkesan diatur, tapi ini merupakan hal positif, di mana istri akan lebih menghargai keberadaan suami. Bukankah menikah seyogyanya saling menghargai?
3 Hubungan Intim
Tujuan menikah di antaranya adalah untuk mendapatkan tempat yang halal dalam melampiaskan keinginan seksual. Sedangkan kalau dengan jalan pacaran, itu jalan yang haram.
Bahkan Allah memerintahkan untuk mencari keturunan dengan hubungan intim. Sebagaimana tafsiran dari salah satu ayat,
“Maka sekarang campurilah mereka dan raihlah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Salah satu tafsiran dari ayat ini adalah carilah keturunan dari hubungan intim.
Bahkan menaati suami dalam hubungan intim adalah jalan mudah bagi seorang istri untuk meraih pahala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang (baca: untuk berhubungan intim), lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari, no. 5193 dan Muslim, no. 1436).
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan hubungan intim di antara kalian adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa mendatangi istri dengan syahwat (disetubuhi) bisa bernilai pahala?” Ia berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada yang meletakkan syahwat tersebut pada yang haram (berzina) bukankah bernilai dosa? Maka sudah sepantasnya meletakkan syahwat tersebut pada yang halal mendatangkan pahala.” (HR. Muslim, no. 1006).
BACA JUGA: Kisah Haru Pengantin di Palembang Menikah di Samping Jenazah Ibu
Jimak (bersetubuh atau hubungan intim) bisa bernilai ibadah jika maksudnya adalah untuk menunaikan hak istri, bergaul baik dengannya, dan melakukan kebajikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Di samping itu, jimak bisa bernilai ibadah bila maksudnya untuk memperoleh keturunan yang sholeh, membentengi diri agar tidak terjerumus dalam zina, agar pasangan tidak memandang hal-hal yang diharamkan, juga agar tidak berpikiran atau bermaksud yang bukan-bukan, atau niatan baik lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 7:83-84). []
SUMBER: REMAJAISLAM