PADA kesempatan yang lalu, kita telah mengulas secara singkat tentang beberapa cara makan Rasulullah, salah satunya adalah disunnahkan menghabiskan sisa makanan yang ada pada piring atau nampan tempat makan.
Menghabiskan sisa makanan sejatinya memiliki filosofi tersendiri yakni menghargai nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Islam melarang umatnya membuang-buang rezeki yang diperoleh.
Dan karenanya, sebagai umat Islam kita harus menghargai setiap tetes air dan setiap biji makanan yang ada dengan cara tidak menyia-nyiakan makanan atau minuman tersebut serta menggunakannya untuk tujuan yang positif.
Penghargaan yang kita berikan kepada makanan atau minuman sejatinya merupakan bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat Allah.
Karena itu dalam salah satu riwayat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menjilati sisa makanan yang menempel di jari-jari tangannya. Dari Jabir bin ‘Abdillah ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah dia sapu tangannya dengan serbet sebelum dia jilati jarinya. Karena dia tidak tahu makanan mana yang membawa berkah.” (HR. Muslim)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Menjilati jari (seusai makan) adalah sesuatu yang disyari’atkan (dianjurkan). Alasannya, sebagaimana yang disebutkan di akhir hadits, yaitu karena orang yang makan tidak mengetahui di manakah barokah yang ada pada makanannya. Makanan yang disajikan pada orang yang makan benar-benar ada barokahnya.
Namun tidak diketahui apakah barokahnya ada pada makanan yang dimakan atau pada makanan yang tersisa pada jari atau pada mangkoknya atau pada suapan yang terjatuh. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seseorang memperhatikan ajaran ini agar ketika makan pun bisa meraih barokah.
Pengertian barokah pada asalnya adalah bertambahnya dan tetapnya kebaikan serta mendapatkan kesenangan dengannya.”
Sementara itu, Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa dibolehkan mengusap tangan dengan serbet, namun yang sesuai sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yaitu dilakukan setelah menjilat jari.
Beberapa dalil di atas merujuk pada adab memakan makanan yang kita ambil. Bagimanakah jika kita memakan makanan sisa dari orang lain?
Mungkin kita semua pernah mendengar hadits yang menyatakan bahwa sisa makanan orang mukmin itu adalah obat.
Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa teks hadits tersebut sebenarnya menyatakan “Sisa makanan orang mukmin itu menyembuhkan.” Para ulama berpendapat bahwa kualitas hadits tersebut adalah palsu.
BACA JUGA: Membungkus Makanan Sisa
Adapun hadits lain yang serupa dengan hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni dengan sanad : Said bin Misykan – Ahmad bin Rauf – Suaid bin Nasr – Nuh bin Abu Maryam – Ibnu Juraij – Ata – Ibnu Abbas – Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits ini menuturkan,
“Di antara sikap yang santun adalah seseorang minum sisa minuman saudaranya. Dan siapa yang minum sisa sudaranya dengan mengharapkan wajah Allah, maka akan ditinggikan baginya tujuh puluh tingkatan, tujuh puluh kesalahannya akan dihapuskan, dan akan dicatat baginya tujuh puluh kebajikan.” (Ibn al-Jauzi, Jalal al-Din al-Suyuti, Ibn Araq al-Kannani, al-Syaukani).
Yang menjadi masalah adalah pada sanad tersebut terdapat rawi yang bernama Nuh bin Abu Maryam yang dikenal sebagai pendusta (Ibn al-Jauzi, Ibn Araq al-Kannani).
Karena itulah, hadits tersebut juga merupakan hadits palsu. Para ulama berpendapat bahwa hadits di atas memiliki substansi yang berbeda karena tidak berbicara tentang obat. Hadits tersebut hanya berbicara tentang sisa minuman dan kesantunan. Jadi, tidak ada kaitannya dengan hadits pertama.
Dari penjelasan para ulama tersebut yang dikutip dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa Islam tidak mengatur makan makanan sisa orang lain.
Adapun hadits yang kerap didengar di kalangan umat muslim sejatinya merupakan hadits palsu sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. []
SUMBER: DALAMISLAM