SUATU ketika Fatimah binti Ubaidillah RA., ibunda Imam Syafi’i RA., diminta oleh hakim untuk menjadi saksi di pengadilan. la pun mengajak seorang temannya untuk ikut bersaksi. Setibanya di pengadilan, hakim itu berkata, “Yang boleh bersaksi hanyalah kamu, temanmu tidak boleh!”
Ibunda Imam Syafi’i RA. lalu menyanggah, “Anda tidak bisa berkata seperti itu! Allah SWT berfirman, “… Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Hakim pun terdiam dan mengakui kercerdasan ibunda Syafi’i. Tidak heran jika kecerdasannya menurun kepada putranya yang terkenal cerdas luar biasa dan luas ilmunya sehingga sulit tertandingi oleh generasi setelahnya.
Dulu ketika Fatimah mengandung bayi Syafi’i, suaminya, Idris RA., wafat. Setelah Asy-Syafi’i lahir, sang bundalah yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Pada usia dua tahun, Syafi’i kecil diboyong sang bunda ke Makkah agar tinggal bersama Bani Muthalib yang senasab dengan Rasulullah SAW.
la senantiasa mendorong putranya untuk mencintai ilmu. Berkat semangat yang ditularkan dari ibundanya, Syafi’i dapat menghafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Tiga tahun berikutnya, ia sudah hafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik RA.
“la ibarat matahari bagi bumi dan kesehatan bagi badan. Adakah yang mampu menyaingi keduanya?” Demikianlah tutur Imam Ahmad bin Hanbal RA. tentang ketajaman dan keluasaan ilmu Imam Syafi’i RA. []