BILA hati sudah cenderung pada kebenaran, ia akan mudah menerima nasihat, ridha mengikuti petunjuk, dan rela menempuh terjalnya perjalanan.
Lain cerita dengan orang yang selalu mencari pembenaran, jangankan kritik pedas, nasihat manis pun dirasa tawar, pahit, dan racun yang bakal mematikan.
BACA JUGA: Menasihati, Tak Perlu Nunggu Diri Sendiri Baik Dulu
Antara kritis dan sinis hanyalah beda tipis. Yang satu mencari kebenaran untuk mengokohkan ilmu, pemahaman, dan keyakinan. Satu lagi untuk menguji, bahkan mungkin untuk menyanggah, menyalahkan dan memojokan.
Sama-sama diskusi. Sama-sama berdebat. Tapi hasilnya beda antara orang yang mencari kebenaran dan si dia yang mencari pembenaran.
Yang pertama mendapatkan ilmu dan yang kedua tidak mendapatkan apa-apa selain hatinya kian resah, ujub, dan merasa benar.
Lihat saja mereka yang berdebat, hingga panjang, dan berurai-urai dengan argumentasi masing-masing. Di media sosial misalnya, hari-hari gini banyak yang berdebat panjang lebar. Satu pandangan beradu dengan pandangan lain.
Apakah tidak boleh?
Oh, boleh saja. Tapi wasilah dakwah itu tidak tiba-tiba loncat ke debat. Dalam syariat kita belajar “bilhimah wamauidatil hasanah wajadilhum bilatihiya ahsan.”
Serulah dengan hikmah, teladan yang mulia, nasihat yang santun, dan bilapun harus berdiskusi, berdebat, lakukan dengan cara yang baik nan memesona.
Dalam kondisi seperti ini nasihat para guru, ustaz, dan ulama sangatlah bermanfaat bagi kita.
BACA JUGA: Nasihat Kebahagiaan Ibnu al-Jauzy
“Engkau sebarkan pandangan dalam satu tulisan,” tutur Syaikh Musthafa As Siba’i, “Itu lebih bermanfaat daripada berdebat dengan penentangmu yang keras kepala satu bulan penuh.”
Adapun saya? Tak mau berdebat panjang-panjang. Maklum miskin ilmu, kosa kata, dan tak pandai beretorika. Hanyalah seorang pendosa yang berharap ampunan-Nya, ditunjuki kebenaran, dan dilimpahi keberkahan ilmu, rezeki serta kehidupan. []