USAI keliling kota untuk melihat keadaan, Nelson Mandela dan beberapa pengawalnya singgah di sebuah restoran. Presiden Afrika Selatan (1994-1999) yang belum lama terpilih ini, terkenal sederhana dan tak terlalu ribet urusan birokrasi, sehingga rombongan kepresidenan itu tak minta perlakuan khusus sesuai protokoler kenegaraan.
Di saat yang sama, di sebuah meja sudut restoran itu duduk seorang lelaki sedang menunggu pesanan. Mandela yang menyadari itu memerintahkan salah satu pengawalnya untuk mengajak lelaki itu bergabung bersama rombongannya.
BACA JUGA: Balas Dendam Terbaik Adalah…
Lelaki itu disediakan tempat duduk spesial, tepat di samping presiden. Hidangan tiba. Rombongan menyantap makanan bersama, bersuka cita menikmati lezatnya sajian restoran. Tapi tidak dengan lelaki itu, wajahnya tegang, bercucuran keringat, dan tangannya gemetaran. Hanya beberapa teguk air dan sepotong roti saja yang disentuhnya.
“Tampaknya dia sedang sakit,” bisik salah seorang ajudan kepada Mandela, “Apa sebaiknya kami segera bawa ke rumah sakit, Tuan?”
Mandela tak merespon apa-apa, beliau membiarkan keadaan hingga membuat sebagian orang dalam rombongan itu kebingungan. Usai makan lelaki itu dipersilakan kembali ke meja makan tempat semula ia duduk dan menunggu pesanannya.
“Dia tidak sakit,” ujar Mandela yang disimak rombongannya, “Keringat yang bercucuran dan tangan yang gemetar itu bukan karena sedang sakit, dialah sipir yang dulu menyiksaku ketika di ruang isolasi di dalam penjara. Pernah ketika aku haus dan meminta air darinya, ia malah mengencingi kepalaku.”
BACA JUGA: Obati ‘Penyakit’ Dendammu
Para ajudan dan pengawal presiden itu kaget, takjub, dan serius menyimak tuturan Mandela. Ada perasaan marah, kaget, dan ingin memberi pelajaran pada manusia yang sudah menghinakan orang nomor satu di negaranya itu.
“Dia gemetar karena takut aku akan membalas apa yang pernah dia perbuat terhadapku. Tapi aku tidak akan membalasnya. Dendam bukan akhlaku. Dendam tidak akan membangun negara, tetapi memaafkan selalu menjadi jalan menuju kebangkitan sebuah bangsa.”
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari sepenggal cerita ini?
Ah, pembaca lebih tahu jawabannya. []