AL BIRUNI sakit parah, kondisinya kian hari kian payah, kian rapuh dan memburuk. Keadaannya sungguh memprihatinkan, tubuhnya lemah tanpa daya, dan suasana duka menyelimuti keluarganya.
Orang-orang berbondong-bondong datang ke rumahnya, menengok untuk melihat keadaannya. Setiap orang yang datang dihinggapi rasa iba dan perihatin.
Lilir doa mengalun untuk kesembuhan lelaki shaleh ini. Allahumma anta syafi laa syifa’a illa syifa ‘uka syifa’a layughadiru sakama.
BACA JUGA: Lelaki, Makin Tinggi Ilmu dan Iman, Makin Takut Beristri Lebih dari 1?
Seorang tetangga ulama ahli fiqih, turut menengok Al-Biruni yang terbaring. Alangkah senang hatinya mendapati kunjungan sang tetangga, seorang tokoh masyarakat yang saleh, berilmu, dan terhormat.
Raut muka Al-Biruni memancarkan rona bahagia dan sunggingan senyum merekah menyambutnya.
Satu hal yang membuat ulama ahli fiqih ini takjub pada Al-Biruni, yakni dalam kedaan sakit parah ia masih sempat-sempatnya menanyakan persoalan fiqih. Sang tetangga diam sejenak karena terpana karenanya.
“Sahabatku,” akhirnya sang ulama membuka suara, “Ini bukan waktunya untuk bertanya. Engkau dalam keadaan sakit, lebih baik engkau gunakan untuk istirahat.”
“Aku tahu bahwa saat ini aku berada diambang kematian,” jawab Al-Biruni, “Tapi aku akan tetap bertanya tentang persoalanku tadi.”
Al-Biruni diam sejenak, merasakan sakit sembari mengatur napas yang memburu. Menjeda kata untuk mengatur irama karena ada sesak dalam dada.
“Lebih baik mana,” lanjut Al-Biruni, “Seseorang meninggal dengan menyimpan sekian pertanyaan? Atau seseorang meninggal secara lapang karena persoalan yang mangganggu pikirannya telah terjawab sebelum Allah memanggilnya?”
Sang tetangga yang faqih (ahli fiqih) itu semakin kagum, ia membenarkan apa yang dikatakan Al-Biruni.
Dengan santun sang faqih menjawab semua pertanyaannya; jelas, lugas, dan tegas uraiannya. Tak ada yang terlewati jawabannya. Mantap, tepat, rinci, dan teliti. Masya Allah..
Mendapati jawaban tersebut Al-Biruni tampak bahagia, raut mukanya memancarkan cahaya cerah nan berseri. Lega hatinya karena pertanyaannya terjawab sudah. Syukur alhamdulillah..
Sang ulama minta izin dan pamit untuk pulang. Tidak lupa lantunan doa untuk kesembuhan Al-Biruni. Semoga lekas sembuh, semoga sakit yang dirasa menjadi penawar dosa, dan semoga Allah limpahkan pahala atas kesabarannya. Amin.
Baru beberapa langkah keluar dari rumah, tiba-tiba sang ulama menghentikan langkahnya.
Ada apa gerangan?
.
Terdengar suara pilu dari rumah itu. Ada sedu sedan, kesedihan, dan isak tangis menyelimuti rumah tersebut. Ilmuwan muslim itu meninggal dunia setelah beberapa langkah sang ulama keluar dari rumahnya.
Sesaat setelah sang ulama meninggalkannya, Al-Biruni pun meninggalkan dunia dan seisinya. Al-Biruni menghadap Allah setelah mendapat jawaban fiqih dari sang ulama.
Innalillahi wa inna Ilalihi raajiuun.
Semoga Allah meridhainya, menyayanginya, dan mencintainya.
Alahumma amin.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah ini?
Adalah semangat Al-Biruni yang luar biasa. Lelaki yang bernama lengkap Abu Raihan Al-Biruni ini, sejak kecil sudah mencintai ilmu. Beliau paham betul sabda nabinya,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.” (HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik)
Maka pantas kalau Al-Biruni memiliki prestasi tinggi, menjadi ilmuan terkemuka yang menguasai berbagai bidang ilmu, di antaranya matematika, astronomi, fisika, sejarah, dan farmasi.
BACA JUGA: Menimba Ilmu
Beliau juga seorang penulis, filsuf, dan pengembara. Menguasai banyak bahasa seperti Arab, Persia, Yunani, Berber, Suriah, dan Sansakerta.
Beliau memiliki tekat baja, semangat membara, dan selalu haus ilmu. Beliau memiliki semangat belajar hingga akhir hayatnya.
Ini inspirasi bagi kita, bahwasanya menuntut ilmu itu perlu. Belajar sepanjang waktu. Selama hidup. Selama hayat masih dikandung badan. Kita harus tetap belajar. Terus mencari ilmu. Dari buaian sampai maut menjemput. Jangan pernah surut. Belajar dan terus belajar. []