PERMUSUHAN di antara iblis dan manusia berawal pada saat Iblis menolak perintah Allah SWT untuk bersujud dalam bentuk penghormatan kepada Nabi Adam Sejak saat itulah Iblis mendeklarasikan permusuhannya kepada Adam dan seluruh keturunannya.
Iblis memohon kepada Allah SWT agar diberikan penangguhan waktu untuk menggoda anak cucu Adam agar terjerumus kepada kesesatan sehingga dapat menemaninya kelak di neraka jahanam.
BACA JUGA: Ini 10 Teman Iblis, Mungkin Kita Salah Satunya (2-habis)
Berbagai cara telah dilakukan Iblis beserta bala tentaranya untuk menggiring manusia kepada jalan kesesatan yang penuh kehinaan. Tidak henti-hentinya Iblis menggoda manusia dari berbagai jalan agar manusia terjerumus dalam jurang kesesatan dan kehinaan.
Untuk melindungi manusia dari kesesatan dan mengembalikannya kepada jalan yang lurus Allah Ta’ala mengutus para Nabi dan Rasul beserta umatnya yang saleh untuk membimbing manusia agar selalu berada di jalan yang ridai oleh Allah SWT
Telah banyak nasehat yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul berserta orang-orang saleh mengenai berbagai tipu daya Iblis dan langkah-langkahnya agar terhindar dari tipu daya tersebut. Sebagaimana dikisahkan dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Abu Hamid Al Ghazalli (w. 505 H) mengenai perjumpaan Nabi Nuh dengan Iblis.
Suatu hari ketika Nabi Nuh menaiki kapalnya, ia melihat seorang laki-laki tua yang tidak dikenalnya. Lantas, Nabi Nuh bertanya kepada lelaki tua tersebut, “Apa yang menyebabkan dirimu masuk kepal ini ?” Lelaki tua itu menjawab, “Aku masuk ke kapal ini agar aku dapat mempengaruhi hati pengikut mu supaya hati mereka bersama ku dan akan tetapi badan mereka bersama engkau.”
Lalu Nabi Nuh berkata kepadanya “Keluarlah engkau (dari kapal ini) wahai musuh Allah!” Rupanya, lelaki tua itu adalah Iblis yang mencoba mempengaruhi hati umat Nabi Nuh agar ingkar dengan sesuatu yang dirisalahkan kepada Nabi Nuh
Iblis itu kemudian berkata, “Ada lima hal yang lazimnya aku gunakan untuk mencelakakan manusia. Aku akan memberitahukan tiga halnya itu dan aku rahasiakan dua hal lainnya.”
Maka Allah berfirman kepada Nabi Nuh “Sesungguhnya engkau tidak memerlukan yang tiga hal itu. Perintahlah ia (Iblis) untuk memberitahukan kepada engkau dua hal saja.” Nabi Nuh pun memerintahkan Iblis itu agar menyebutkan dua hal saja.
Iblis berkata, “Dengan kedua hal itu aku mencelakakan manusia dan keduanya tidak berdusta. Kedua hal itu ialah hasad dan sifat tamak. Karena sifat hasad, aku dilaknat oleh Allah dan dijadikannya aku setan yang terkutuk. Dan karena sifat tamak, aku memperbolehkan kepada Adam seluruh apapun yang ada di surga, lalu aku mendapatkan hal yang aku inginkan darinya (yakni dapat mengeluarkan Adam dari surga karena disebabkan Iblis membujuk Adam untuk memakan buah Khuld) dan aku pun diusir dari surga.”
Dari kisah di atas dapat kita ambil pelajaran, bahwasanya dua senjata utama Iblis yang digunakan untuk mencelakakan manusia yakni menimbulkan dalam diri manusia sifat hasad (dengki) dan tamak (sarakah).
Sifat hasad merupakan bentuk pengingkaran akan ketentuan dan ketetapan Allah yang telah menetapkan takdir setiap makhluk-Nya. Maka, orang yang memiliki sifat hasad akan bersikap tidak senang atas kenikmatan yang Allah karuniakan kepada seseorang.
Dikatakan menurut sebagai Ulama hikmah, sifat hasad (dengki) merupakan sifat tercela pertama yang ada dalam diri seorang makhluk. Sedangkan sifat tamak merupakan ambisi untuk mendapatkan segala hal yang diinginkannya dengan berbagai cara apapun, ia tidak memperpedulikan apakah dengan caranya tersebut dapat mendatangkan rahmat Allah atau justru mengundang amarah-Nya.
Tamak atau rakus banyak menyebabkan seorang hamba terjerumus kepada hal-hal yang dimurkai oleh Allah Ta’ala. Namrud, Fir’aun, dan Qarun merupakan contoh orang-orang yang tamak, rakus akan kekuasaan maupun rakus akan harta.
BACA JUGA: Benarkah Iblis dulunya Pernah Jadi Malaikat?
Sifat hasad dan tamak merupakan hasil dari tidak bersyukurnya seorang hamba atas nikmat dari Allah SWT
Manusia yang memiliki sifat hasad dan tamak akan selalu memandang segala nikmat dari Allah terhadap dirinya adalah sesuatu hal yang remeh, sedangkan ia memandang atas karunia dan nikmat dari Allah terhadap orang lain adalah sesuatu hal yang agung. Wallaahu a’lam. []
SUMBER: BINCANG SYARIAH