DI rumah sederhana dekat perkebunan kurma di dataran tinggi Madinah, Mariah isteri Rasulullah tinggal. Ditemani bekas budak Rasulullah bernama Salma. Abu Rafi’, istri Salma mengabarkan bahwasanya Mariah akan segera melahirkan.
Lahirlah seorang putra Rasulullah yang kemudian beliau beri nama Ibrahim, sesuai dengan nama nabi leluhur beliau.
BACA JUGA: Doa Rasulullah untuk Keluarga Nusaibah
Pada hari ketujuh kelahiran Ibrahim, Rasulullah menggelar akikah. Mencukur rambut Ibrahim dan bersedekah perak seberat timbangan rambut tersebut. Sesuai dengan tradisi Arab, Nabi mencarikan wanita untuk menyusui Ibrahim. Secara selektif beliau mencari ibu susuan untuk putranya itu. Para wanita Anshar berharap mendapat kehormatan itu, agar Mariah bisa memiliki banyak waktu dengan Rasulullah. Wanita yang beruntung mendapatkan kehormatan itu adalah Khaulah bint al-Mundzir bin Zaid al-Najjariyah.
Sampai kemudian dianggap cukup, Ibrahim dikembalikan lagi kepada Mariah. Lalu Rasulullah menghadiahi Khaulah sebidang kebun kurma.
Pendapat lain mengatakan Ibrahim disusui oleh Ummu Saif, isteri seorang tukang pandai besi di Madinah.
Tiada hari melainkan Rasulullah selalu menemui Ibrahim di sisi ibunya, meski terkadang hanya sebentar, sekedar menumpahkan rindu dan cinta beliau. Anas bin Malik menuturkan, “Ibrahim tinggal di dataran tinggi Madinah. Rasulullah sering kesana dan kami pun ikut. Wanita yang menyusui Ibrahim adalah isteri seorang pandai besi.
Rasulullah pernah memperlihatkan Ibrahim ke semua isteri beliau, beliau berharap Ibrahim tumbuh sehat dan kuat. Tetapi kebahagiaan Rasulullah bersama Ibrahim tak lama. Pada usia satu setengah tahun, ketika Ibrahim mulai tumbuh kuat, Ibrahim meninggal dunia. Ibrahim menghembuskan nafas di pangkuan Mariah, lalu Nabi memindahkan putranya itu ke pangkuan beliau.
“Wahai Ibrahim, tak ada apa pun dari Allah yang bisa mencukupi selain dirimu.”
Ibrahim pun menghembuskan nafas terakhirnya. Air mata pun mengalir deras, membasahi wajah Rasulullah, tanpa sedikit pun kata-kata.
BACA JUGA: Rasulullah Bikin Kafir Quraisy Diam Mematung
“Kau menangis, Rasulullah? Bukankah kau sendiri melarang menangisi kematian seseorang?”
Rasulullah membenarkan, duka beliau tak terperikan.
“Aku tidak melarang menangis, yang kularang adalah dua teriakan dosa: nyanyian yang tak bermakna dan melalaikan; serta ratapan histeris saat tertimpa musibah dengan menampari wajah dan merobek-robek pakaian. Sedang yang terjadi padaku adalah ungkapan kasih sayang, siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi. Jika saja ini bukan kepastian Allah, dan jika saja yang akhir tidak dapat menyusul yang telah mendahului, kesedihanku atas kepergianmu wahai Ibrahim, niscaya jauh lebih besar. Kami bena-benar sedih berpisah denganmu, Namun kami tidak akan mengeluarkan kata-kata yang dimurkai Tuhan.”
Mariah pun menangis histeris meratapi anaknya, tetapi kemudian Nabi segera menenangkannya dan melarangnya demikian. []
Sumber: Dr. Nizar Abazhah. Sahabat-Sahabat Cilik Rasulullah. Dar al-Fikr, Damakus: 2009.