SUATU hari Abu Hurairah berjalan melewati sebuah pasar. Di sana ia terpana melihat begitu banyak orang bersemangat dalam mengais harta dunia. Sampai-sampai mereka tak menghiraukan seruan menimba ilmu kepada Rasulullah serta menunaikan kewajiban untuk shalat lima waktu. Mereka seolah tenggelam dan terperdaya oleh lautan gemerlapnya dunia.
“Alangkah sibuknya kalian, hai penduduk Madinah!” ujar Abu Hurairah dengan lantang pada sekerumunan orang.
“Bagaimana pendapat engkau tentang kesibukan kami, wahai Abu Hurairah?” Ujar salah seorang yang berpengaruh di antara mereka.
BACA JUGA: Kisah Pencuri Munafik yang Ditangkap Abu Hurairah
“Harta yang diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang dibagi-bagi orang. Sayang sekali kalian berada di sini. Mengapa kalian tidak pergi ke sana mengambil bagian?” ujar Abu Hurairah.
“Di mana?” tanya mereka dengan kompaknya.
“Di masjid Nabawi,” jawabnya.
Mereka pun bergegas menuju masjid.
Merasa tak ada pembagian warisan di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah lalu berkata, “Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah mereka.
“Apa kalian tidak melihat banyak orang di masjid itu?” Abu Hurairah balik bertanya.
“Ada, tetapi di antara mereka ada yang sedang shalat, ada yang membaca Al-Quran, dan ada juga yang sedang belajar tentang hukum-hukum Allah,” jawab mereka.
Abu Hurairah lantas berkata, “Celaka kalian, itulah warisan Muhammad shallahu `alaihi wasallam.”
Ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, memang telah mengantarkan pribadi Abu Hurairah kaya akan pengetahuan dan ahli ibadah. Waktu demi waktu ia habiskan untuk menimba ilmu disepanjang hari, serta beribadah pada sepertiga malam bersama isteri dan anaknya.
Abu Hurairah pernah menjadi Wali Kota Madinah. Namun, selama menjabat ia sangat berhati-hati terhadap harta. Sampai-sampai anak perempuannya ia larang mengenakan perhiasan. “Hai anakku, katakan kepada mereka, ayahmu takut jika aku dibakar api neraka kelak,” terang ayahnya saat anak perempuannya mengadukan ejekan teman-temannya karena ia tak diberi perhiasan.
BACA JUGA: Doa Rasulullah untuk Ibunda Abu Hurairah
Hingga akhir hayatnya, sifat-sifat Rasulullah itu selalu terpatri dalam diri Abu Hurairah. Kerendahan hatinya tampak sekali ketika jiwanya di ujung kematian. Ia menangis dan membuat orang-orang di sekelilingnya keheranan.
“Mengapa engkau menangis, wahai Abu Hurairah?” tanya salah seorang sahabat.
“Aku menangis bukanlah karena akan berpisah dengan dunia ini. Aku menangis karena perjalananku masih jauh, sedangkan perbekalanku hanya sedikit. Aku telah berada di ujung jalan yang akan membawaku ke surga atau neraka,” ujarnya. []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta