AGAMA Islam adalah agama nasihat. Semua sendi dalam agama Islam adalah nasihat. Dan setiap kita dalam agama ini, akan senantiasa menasihati dan dinasihati. Sebagaimana dalam hadits dari Tamim Ad Dariy radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda,
“Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya ‘Untuk siapa?’
Beliau menjawab ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 55).
Namun menyampaikan nasehat tidak boleh serampangan dan sembarangan. Ada adab-adab yang perlu diperhatikan ketika menyampai nasehat kepada orang lain. Berikut ini 8 adab yang hendaknya diperhatikan ketika menyampaikan nasihat.
BACA JUGA: Nasihat Istri yang Amanah
1 Nasihat didasari niat ikhlas
Sebagaimana kita ketahui bahwa amalan kebaikan tidak diterima dan tidak dianggap sebagai amalan shalih kecuali jika dengan niat yang ikhlas. Dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapatkan ganjaran sesuai niatnya. Orang yang hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan ganjaran sebagai amalan hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya. Orang yang hijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sekedar yang untuk apa yang ia niatkan tersebut.” (HR. Bukhari no. 6953)
Allah ta’ala hanya menerima amalan ikhlas ditujukan kepada Allah semata tidak berbuat syirik kepada Allah termasuk syirik dalam niat. Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Maidah: 27).
Ath Thabari rahimahullah menjelaskan, “Sejumlah ulama tafsir dalam kalangan salaf di beberepa tempat telah mengatakan: “muttaqun” di sini maksudnya orang-orang yang menjauhkan diri dari kesyirikan.” (Tafsir Ath Thabari)
2 Menasihati dengan cara yang benar sesuai syariat
Selain niat harus ikhlas, cara memberikan nasihat juga harus benar. Allah ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Rabb-Nya maka amalkanlah amalan kebaikan dan jangan mempersekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al Kahfi: 110)
As Sa’di dalam Tafsir-nya menjelaskan,
“[maka amalkanlah amalan shalih] yaitu amalan yang sesuai dengan syariat Allah, berupa amalan yang wajib atau mustahab, [dan jangan mempersekutukan Rabb-nya dengan sesuatu apapun] maksudnya: jangan riya’ dalam amalan, namun harus ikhlas mengharap wajah Allah. Maka ayat ini menggabungka dua syarat diterimanya amalan: ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan).”
Maka cara menasehati haruslah benar sesuai tuntunan syariat. Oleh karena itu dalam hadits dari Abu Sa’id Al Khudhri radhiallahu’anhu, Nabi SAW memberikan tingkatan urutan dalam mengingkari kemungkaran. Beliau SAW bersabda,
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no.49).
Hadits ini menunjukkan bahwa ketika tidak kemampuan untuk mengingkari dengan tangan maka tidak boleh nekat tetap melakukan pengingkaran dengan tangan, walaupun niatnya baik. Namun berpindah kepada cara selanjutnya yaitu mengingkari dengan lisan. Ini mengisyaratkan wajibnya mengikuti tuntunan syariat dalam ingkarul mungkar dan juga dalam nasehat.
Oleh karena itu para ulama menyatakan suatu kaidah penting,
“Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil.”
3 Gunakan kata-kata yang baik
Dalam menyampaikan nasehat hendaknya menggunakan kata-kata yang baik, yaitu kata-kata yang penuh kelembutan dan hikmah. Perhatikan bagaimana Allah Ta’ala perintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam ketika akan memberi nasehat kepada Fir’aun, Allah berfirman,
“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44).
Padahal Fir’aun jelas kekafirannya dan kezalimannya. Bahkan ia mengatakan: “Aku adalah Tuhan kalian yang Maha Tinggi.” Namun tetap diperintahkan untuk memberi nasehat yang lemah lembut. Maka bagaimana lagi jika yang dinasehati adalah seorang Muslim yang beriman kepada Allah?
Celaan dan hinaan tidak menjadi halal ketika memberi nasehat kepada orang yang jatuh pada kesalahan. Celaan dan kata-kata kotor bukanlah akhlak seorang Mukmin. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi SAW bersabda,
“Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka bicara kotor dan suka bicara jorok.” (HR. Tirmidzi)
Dan janganlah menganggap remeh perkataan yang buruk dan menyakiti hati orang lain. Karena bisa jadi perkataan itu bisa menyeret kita ke dalam neraka sangat dalam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya seorang hamba ketika berbicara dengan perkataan yang dianggap biasa, namun akan menyebabkan ia masuk neraka 70 tahun.” (HR. Tirmidzi)
4 Tabayun
Hendaknya ketika memberikan nasehat kepada orang lain, tidak bertopang pada kabar yang tidak jelas dan simpang-siur. Karena kabar yang tidak jelas atau simpang siur, bukanlah ilmu dan bukanlah informasi sama sekali. Orang yang menyampaikannya disebut orang yang melakukan kebodohan. Allah ta’ala berfirman,
“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.” (QS. Al-Hujurat: 6).
Maka hendaknya cek dan ricek, klarifikasi dan konfirmasi, sebelum beranjak untuk memberikan nasehat. Orang yang mempercayai dan menyampaikan semua yang ia dengar tanpa cek dan ricek, klarifikasi dan konfirmasi, maka ia seorang pendosa. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ,
“Cukuplah seseorang telah berdosa jika menyampaikan seluruh yang ia dengar.” (HR. Muslim no.5)
BACA JUGA: Untukmu yang Suka Berharap dan Memberikan Harapan, Perhatikan 8 Nasihat Ini
5 Jangan Suuzhan
Hendaknya nasehat yang diberikan kepada orang lain, bukan didasari oleh prasangka buruk. Allah ta’ala berfirman,
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.” (QS. Al-Hujuraat: 12)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi SAW juga bersabda:
“jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari no.5143, Muslim no. 2563)
Hendaknya kita mencari kemungkinan-kemungkinan baik bagi saudara kita sesama Muslim, selama masih memungkinkan. Muhammad bin Manazil rahimahullah berkata,
“Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya. Sedangkan seorang munafik itu mencari-cari kesalahan saudaranya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.10437)
6 Jangan memaksa agar nasihat diterima
Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah mengatakan,
“Jangan engkau menasehati orang dengan mempersyaratkan harus diterima nasehat tersebut darimu, jika engkau melakukan perbuatan berlebihan yang demikian, maka engkau adalah orang yang zalim bukan orang yang menasehati. Engkau juga orang yang menuntut ketaatan bak seorang raja, bukan orang yang ingin menunaikan amanah kebenaran dan persaudaraan. Yang demikian juga bukanlah perlakuan orang berakal dan bukan perilaku kedermawanan, namun bagaikan perlakuan penguasa kepada rakyatnya atau majikan kepada budaknya.” (Al Akhlaq was Siyar fi Mudawatin Nufus, 45).
Maka yang benar, sampaikan nasehat. Jika diterima, itu yang diharapkan. Jika tidak diterima maka tidak mengapa. Perhatikan nasehat Imam Malik berikut,
Al Haitsam bin Jamil mengatakan, saya pernah berkata kepada Imam Malik bin Anas, “seseorang yang alim (berilmu) terhadap sunnah Nabi, apakah boleh ia berdebat tentang As Sunnah?”
Imam Malik menjawab, “Jangan! Namun sampaikanlah tentang As Sunnah. Jika diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, ya sudah diam saja.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/94)
Dan memberi nasehat adalah amalan shalih, ia akan diganjar pahala walaupun nasehat tidak diterima.
BACA JUGA: Nasihat Nabi Idris agar Hidup Bahagia
7 Tidak Menasihati di depan umum
Hendaknya memberi nasihat kepada orang lain tidak di hadapan orang banyak. Karena orang yang dinasihati akan tersinggung dan merasa dipermalukan di depan orang-orang. Sehingga tujuan dari nasihat akan menjadi jauh tercapai. Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku. Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” (Diwan Asy Syafi’i, hal. 56)
Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasihat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasihati saudaranya berduaan saja maka itulah nasihat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77).
Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW bersabda tentang menasehati pemimpin,
“Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Takhrij As Sunnah Libni Abi Ashim, 1097).
8 Jangan melakukan tahrisy
Hendaknya jauhi tahrisy ketika berusaha memberikan nasehat. Apa itu tahrisy? Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan,
“Tahrisy adalah memancing pertengkaran antara orang-orang satu sama lain.” (Jami’ Al Ushul, 2/754).
Dengan kata lain, tahrisy adalah provokasi. Tahrisy adalah perbuatan langkah setan untuk memecah belah kaum Muslimin. Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya setan telah putus asa membuat orang-orang yang shalat menyembahnya di Jazirah Arab. Namun setan masih bisa melakukan tahrisy di antara mereka.” (HR. Muslim no. 2812)
BACA JUGA: Jangan Berlebihan Main Game, Ini Nasihat Aa Gym
Melakukan provokasi atau tahrisy ini termasuk namimah (adu domba). Al Imam Ibnu Katsir mengatakan,
“Namimah ada dua macam: terkadang berupa tahrisy (provokasi) antara orang-orang dan mencerai-beraikan hati kaum Mu’minin. Maka ini hukumnya haram secara sepakat ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371, Asy Syamilah).
Dan namimah ini merupakan dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menebar namimah.” (QS. Al Qalam: 10-11).
Maka hindarilah cara-cara yang berupa provokasi dalam menasehati sesama Muslim. Gunakan cara-cara yang baik, yang mendekatkan bukan membuat permusuhan. Wallahu’alam. []
SUMBER: MUSLIM